Monday, October 5, 2009

CELAKA : Gempa Pun di-Manfaat-in

Gempa dahsyat guncang padang. Dilaporkan mencapai 7.6 skala Richter. Bangunan porak-poranda. Kerugian material ditaksir melebihi 1 triliun. Wakil Presiden Jusuf Kalla, mengklaim bahwa gempa ini lebih dahsyat dibanding yang pernah terjadi di Jogjakarta. Sejak gempa pertama 30 September 2009, sudah tercatat 605 korban jiwa. Masih banyak korban jiwa yang tertimbun di bawah reruntuhan. Semoga masih ada yang bisa diselamatkan.

Sumbangan dari dalam dan luar negeri terus mengalir. Berbagai kelompok pun berangkat ke Ibukota Sumatera Barat tersebut. Tujuannya sama, meringankan beban saudara kita yang sedang tertimpa bencana.

Tidak sedikit relawan yang bertarung nyawa demi menyelamatkan korban. Mereka kekurangan makan, tapi tetap berjuang. Tanpa pamrih.

Media cetak dan elektronik pun tidak ketinggalan. Tujuannya jelas. Memberikan informasi terkini dan akurat kepada masyarakat. Dengan informasi ini, para relawan dan donatur dapat memanfaatkan informasi yang ada untuk memaksimalkan bantuan yang akan diberikan. Saya sempat terharu melihat bagaimana masyarakat bergotong royong, dibawah terik matahari dan dingin malam. Tidak sedikit relawan yang harus mengalami luka dan jatuh sakit karena kegigihannya. Benar-benar solidaritas kepada sesama anak bangsa.

Dibalik cerita yang haru-biru, tetap saja ada kelompok dan orang-orang yang tetap berupaya mengambil keuntungan dari kejadian ini. Misalnya: Posko beberapa partai yang berjajar di pinggir-pingir jalan protokol. Dibumbui dengan tulisan POSKO PARTAI tertentu dengan huruf besar-besar. Celakanya, posko itu kosong melompong. Tidak ada orang yang menunggui. Tidak hanya 1 atau 2 partai tapi beberapa partai melakukan hal ini. Mereka benar-benar pamrih. Menyedihkan. Mungkin kekecewaan terhadap hal seperti ini yang menjadikan masyarakat semakin apatis dan menambah jumlah golput dalam pemilu dari waktu ke waktu.

Tidak hanya partai. Menurut Rafiq, salah satu penyiar senior dari I-Radio Jakarta (89.6FM), bahwa ada mayat korban yang harus dipindah-pindahkan dari kantong mayat satu ke kantong mayat yang lain. Tujuannya, hanya sekedar publisitas. Mereka juga ingin agar kantong mayat mereka tersorot media. Masya Allah. Keji sekali perbuatan mereka.

Liputan langsung I-Radio pada hari Senin 5 Oktober pukul 9.00 itu menyampaikan fakta-fakta yang berbeda dari yang telah disampaikan lewat Televisi selama 5 hari terakhir. Selain senior, Rafiq memang orang padang, jadi sangat mengerti soal daerah gempa. Dia menceritakan, bahwa semua SPBU menjual Premium seharga Rp4.500,-. Sedikitnya ada 10 SPBU sepanjang bandara menuju kota, tidak ada antrian. Memang ada yang menjual premium seharga Rp10.000,- tetapi itu bukan SPBU, melainkan pengecer yang berada di daerah yang terisolir. “Jadi tidak pantas kalau digenerelisasi sekota Padang harga premium mencapai Rp 10.000,- itu kan bisa menimbulkan kegelisahan di masyarakat dan menghambat niat mereka yang hendak berangkat ke Padang”, ungkap Rafiq dengan nada sedikit mangkel.

Rafiq juga menceritakan banyaknya bantuan dari perusahaan yang diantarkan langsung kepada korban. Tanpa terlebih dahulu berkoordinasi dengan aparat setempat. Akibatnya, ada wilayah yang menerima bantuan berlebihan. Disisi lain, ada wilayah yang sama sekali tidak menerima bantuan. Parahnya, bantuan hanya terfokus di daerah-daerah yang diliput oleh media Elektronic.

Jadi, apa sebenarnya tujuan dari bantuan yang diberikan?

Tidak heran jika salah seorang korban GEMPA di Tasikmalaya menuliskan :
“KAMI SEDANG DITIMPA BENCANA. TOLONG, JANGAN JADIKAN KAMI TONTONAN UNTUK KEPENTINGAN RATING ANDA !!”

Semoga kejadian ini tidak terulang lagi.

Salam
Sukardi Arifin

Read more...

Tuesday, September 29, 2009

Perusahaan Besar Pun Melanggar.






















Teman saya, tugas di Beijing–China selama kurang lebih 6 tahun. Mudik ke Indonesia, lebaran 1430H lalu. Sebagai teman yang lama tidak berjumpa, kami menghabiskan waktu setengah hari untuk ngobrol-ngobrol. Dia menceritakan bagaimana keadaan di China sana. Bagaimana China berubah menjadi negara yang disegani hanya dalam waktu kurang dari 10 tahun. Dari banyak hal yang dia ceritakan, ada 2 hal yang cukup menarik. Pertama, ternyata kediktatoran dan ketegasan Mo Tse Tung mampu merubah kebiasan orang China menjadi produktif dan disiplin. Kedua, China bersih dari Bilboard, sticker, poster apalagi spanduk liar. Bahkan spanduk dari partai komunis yang berkuasa di negara itu, tidak ada. “Beda deh sama disini…” katanya.

Memang benar. Pertama, kita butuh pemimpin yang diktator. Masyarakat kita sudah terlalu bebas melakukan pelanggaran. Mereka sudah sama sekali tidak memiliki rasa takut. Kedua, kota kita memang sangat kotor. Sungguh luar biasa. Sejauh mata memandang, akan kita temukan, spanduk, sticker dan poster liar. Di jalan protokol, di kompleks perumahan bahkan di tiang-tiang listrik di areal persawahan. Parah. Sangat parah, sehingga benar-benar merusak pemandangan. Menjadi pemandangan sehari-hari, melihat poster yang sudah usang, spanduk yang sudah tercabik sebagian. Bahkan bendera partai tersisa ¼ bagian yang masih terikat di tiang bambu yang mulai lapuk. Keterlaluan.

Biasanya, setiap bulan ada petugas dari kecamatan yang berkeliling membersihkan. Tapi itukan bukan tugas mereka. Mereka tidak digaji sebagai petugas kebersihan bukan?

Bayangkan, setiap orang merasa bebas berbuat apa saja. Semua tiang listrik, dianggap sebagai tiang untuk memasang poster maupun sticker. Semua tiang listrik dan batang pohon dianggap sebagai tempat untuk mengikat spanduk. Tidak hanya itu, tembok dan pagar orang pun ditempeli. Luar Biasa. Harusnya bisa dimasukkan ke Guinness Book of Record.

Saya kira ini hanya terjadi di Jakarta, Surabaya, Jogjakarta atau kota besar lainnya. Ternyata kota kedua seperti Medan, Solo, Samarinda, Bekasi dan Palembang pun sama saja. Termasuk kota-kota lainnya. Mungkin sama-sama merasa orang Indonesia. “Kalau di Jakarta bisa bebas mengotori kota, kenapa disini tidak ?” mungkin begitu fikiran mereka. Khusus kota Jogjakarta, rasanya dapat disebut sebagai sorganya billboard dan spanduk. Semua perusahaan, toko dan warung makan bebas memasang spanduk dan papan toko. Gak percaya ? Coba deh perhatikan setiap sudut jalan, toko dan gedung di kota pelajar ini. Ruar biasa.

Yang lebih memprihatinkan, adalah perusahaan besar pun ikut-ikutan melanggar. Padahal mereka tahu regulasinya. Perhatikan gambar-gambar yang saya sertakan. Pertama, billboard CARREFOUR yang berada persis di tengah-tengah trotoar. Bukankah, billboard mestinya di luar areal fasilitas umum. Kalau ini mendapat ijin dari Pemda setempat, berarti Pemda-nya yang bermasalah. Lha wong, masa sih Pemda (dalam hal ini Jakarta Timur), tidak mengetahui persyaratan tempat mendirikan billboard ?

Kedua, Spanduk Real Estat Menteng Metropolitan. Ini Real Estat besar di ujung Jakarta Timur. Lagaknya mirip preman saja. Spanduk dipasang dipinggir jalan. Saya melihat, suatu pagi spanduknya sudah dicabut oleh petugas dari kecamatan. Esok harinya sudah terpasang lagi. Lebih seru lagi, hari pertama 1 spanduk dicabut, hari ketiga 5 spanduk terpasang di sepanjang jalan dari Bekasi menuju Terminal Pulo Gadung. Hebat khan ? Kira-kira kalau ada orang lain yang memasang spanduk di areal perumahannya, boleh Ga yaaaa ?

Kalau perusahaan besar saja tidak takut, apalah lagi perusahaan perorangan. Saya lampirkan, beberapa temuan saya mengenai poster dan sticker yang mengotori kota Jakarta. Polusi pemandangan. Lembaga pendidikan berperilaku layaknya tukang sedot WC atau para Badut. Menggelikan. Yang tidak kalah menggelikan, mereka yang melanggar dengan berani menuliskan nomor telepon mereka dengan huruf besar di dalam setiap spanduk maupun sticker yang ditempelkan. Orang melanggar yang pemberani. “Mumpung lagi reformasi, preman lebih punya nyali daripada aparat. Mari berbuat semaunya” mungkin begitu kurang lebih prinsip mereka.

Salam,
Sukardi Arifin

Read more...

Monday, September 28, 2009

Strategy place si tukang duplikat kunci

Duplikat kunci. Mungkin kita termasuk pelanggan rutin jenis bisnis ini. Ada saja alasan, sehingga kita terpaksa menggunakan jasanya. Kunci hilang, rusak atau karena jumlah orang yang harus memegang kunci menjadi lebih banyak dari yang telah disediakan oleh pabrikan. Penggunaan jasa duplikat kunci termasuk kategori plan buying. Berbeda dengan produk permen yang impulse buying. Plan buying artinya, penggunaan jasa atau pembelian produk, telah direncanakan. Dan relatif bisa ditunda.

Modal dan sarana kerja bisnis ini tergolong minim. Tidak memerlukan tempat yang luas. Bahkan dapat dilakukan secara mobile (bergerak).

Tukang duplikat kunci yang kerja diwilayah saya terbilang unik. Hanya mengunakan motor keliling. Tapi, keunikannya tidak sebatas pada sarananya, namun lebih pada bagaimana ia memaksimalkan unsur Place sebagai salah satu elemen penting dalam marketing mix.

Dari jam 8 pagi hingga jam 10 siang, dia mangkal di depan pintu keluar kompleks perumahan. Mangkal di bawah pohon. Selanjutnya jam 11 hingga jam 17 dia pindah ke depan sebuah mal di daerah Kranji-Bekasi. Selepas dari mal, dari jam 18 hingga jam 21 dia mangkal di depan Plaza yang cukup ramai. Semuanya rutin. Tujuh hari seminggu. Dari senin hingga minggu. Tidak ada hari libur.

Menarik. Karena bisnisnya termasuk dalam kategori plan buying, maka konsumen cenderung merencanakan sebelum melakukan pembelian. Cara yang digunakan sang tukang duplikat, sangat jitu. Tentusaja tidak dapat disamakan dengan apa yang dilakukan oleh tukang bakso keliling. Lantaran waktunya tidak konsisten. Dan probability konsumen terakhir kehabisan bakso, dapat terjadi. Disamping itu, konsumen cenderung menunggu sepanjang range waktu biasanya tukang bakso lewat. Konsumen tidak akan bersedia spending waktu lebih banyak untuk mendapatkan satu pelayanan atau produk.

Berada di depan kompleks perumahan pada jam-jam berangkat kerja, tentu saja tergolong efektif time. Tapi setelah jam itu, tempat tersebut menjadi tidak efektif lagi. Rata-rata mal baru buka jam 10, mulai ramai sekitar jam 11 dan lunch time, peluang bisnis pun cukup lebar. Selanjutnya Plaza di dalam areal perumahan kembali menggeliat setelah jam kerja usai. Maksimalisasi traffic, tentusaja menjadi salah satu variabel penting dalam Marketing. Bahkan perusahaan sebesar DETIK.COM pun, menjual traffic kepada para pengiklannya. Demikian juga dengan media lainnya.

Bayangkan jika tukang duplikat kunci ini hanya berada pada tempat yang sama sepanjang hari, sepanjang waktu? Berapa banyak klien yang bisa didapat dan berapa luas coverage bisnisnya?

Disisi lain, para konsumennya pun akan merasakan keberadaannya (Availability). Para penghuni kompleks perumahan selalu dapat menggunakan jasanya, pada jam-jam yang telah disediakan. Memang selalu ada potensi lost, pada saat dia harus meninggalkan lokasi. Tapi jika dibandingkan dengan potensi bisnis yang akan didapat, relatif lebih tinggi. Jika harus buka sekaligus pada 3 lokasi, analisa mengenai modal kerja, SDM dan efektivitas waktu perlu dilakukan secara lebih mendalam.

Dengan sedikit analisa terhadap keadaan lingkungan, sang tukang duplikat kunci dapat memaksimalkan revenuenya. Marketing tidak selalu mesti identik dengan survei besar. Fakta dan informasi yang ada “dijalanan”, selayaknya dimanfaatkan sebagai variabel-variabel dalam melakukan analisa. Analisa yang didasari banyak variabel fakta dan bukan hanya dengan estimasi, akan memberikan output strategi yang relatif lebih tajam.

Selamat mempelajari keadaan disekitar anda, jangan-jangan banyak peluang bisnis yang bisa dilakukan.

Salam
Sukardi Arifin

Read more...

Astana Giribangun, Makam pak Harto...!











Sudah belasan kali saya mengunjungi kota Solo – Jawa Tengah. Baik itu dalam rangka tugas, liburan, maupun saat menghadiri pernikahan seorang kawan. Tapi, selalu saja saya tidak sempat berkunjung ke Astana Giribangun, tempat mantan Presiden RI kedua, Bapak Soeharto dimakamkan. Padahal, sejak wafatnya pada tanggal 27 Januari 2008 lalu, saya berjanji akan berziarah ke makam beliau. Setiap akan berangkat ke Solo, saya memasukkan nama Astana Giribangun ke dalam list, sebagai salah satu tempat yang akan saya kunjungi. Karena alasan tidak cukup waktu, atau alasan mengejar flight, rencana itu gagal dan gagal lagi.

Sebagai orang Indonesia, saya sangat menghargai Pak Harto. Sama seperti penghargaan saya kepada Bapak Soekarno, Bapak SBY, Prof Habibie, Gus Dur, JK, Wiranto, Ibu Mega, Pak Prabowo dan para putra-putri terbaik bangsa lainnya. Semua memiliki kekurangan, tapi rasanya tidak pantas menghitung-hitung kekurangan mereka jika dibandingkan dengan cucuran keringat dan perasan fikiran yang telah disumbangkan kepada bangsa ini. Saya pernah ingin mencatat apa saja yang telah saya perbuat untuk kepentingan bangsa. Kertas catatan yang saya sediakan, sampai hari ini belum terisi satu kata pun. Payah, memang. Tapi lumayanlah, karena saya tidak termasuk kelompok orang yang TIDAK MENGHARGAI apa yang telah dilakukan oleh orang lain.

Minggu, 27 September 2009, saya menghadiri pernikahan seorang sahabat di Weru, Sukoharjo-Solo. Seperti biasa, rencana berkunjung ke Astana Giribangun mulai mengalami kendala. Mendarat di Solo dengan Extra Flight (khusus untuk libur lebaran) Garuda Indonesia jam 9. Perjalanan dari Bandara ke lokasi pernikahan ternyata cukup jauh. Tiba jam 12 lewat 10 menit. Acara resmi sudah selesai. Ngumpul dengan teman-teman, ngobrol sana-sini sekitar 3 jam. Jam 15.20 meninggalkan lokasi pesta, menuju ke Makam pria yang siang malam memikirkan bangsa selama 32 tahun. Perjalanan dari Sukoharjo ke Astana Giribangun yang terletak di kecamatan Matesih-Karanganyar, ternyata memakan waktu yang cukup panjang. Sepanjang jalan berkelok dan banyaknya tanjakan yang harus dilalui. Melewati lokasi persawahan. Catatan pertama yang ingin saya abadikan, sawah di Sukoharjo kering kerontang (gambar 1), sementara sawah di Karanganyar hijau berseri (Gambar 2). Apakah ini kutukan bagi Sukoharjo atau ujian bagi Karanganyar. Dua kota bersebelahan, tapi beda nasib.

Tiba dilokasi makam, pukul 17 lewat 25 menit. Beberapa kali salah arah. Kesasar. Maklum, kurangnya petunjuk arah yang jelas dan memadai. Kalau untuk hal yang satu ini, kita kompak secara nasional. Posisi makam, berada di puncak bukit. Sejuk. Hijau dan asri. Pemandangan sudah mulai gelap sebahagian (gambar 3 dan 4). Saya tidak men-jepret sunset, padahal melihat sunset dari lokasi ini sangat indah. Saya tidak rela, membagi keindahan itu dengan Anda (pembaca). Anda harus datang dan menyaksikannya sendiri. Sumpah, sunsetnya indah sekali. Sama seperti di Kute Bali, atau di Pantai Losari Makassar. Tapi ini dari atas bukit, bukan dari tepi pantai.

Tiba di lokasi makam sedikit terlambat, karena jadwal kunjungan ke makam dibuka dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore (gambar 5). Namun, kami mendapat dispensasi. Sahabat saya menjelaskan, kalau kami dari Jakarta dan sudah harus pulang esok hari, tidak pasti kapan bisa datang lagi. Tidak ada debat, tidak ada niat mempersulit, petugas makam memberi kami selembar pas masuk. Fleksibel. Mudah. Tidak kaku. Tidak seperti pelayanan yang biasa saya temukan di instansi atau tempat-tempat lain.
Masuk ke makam, sudah mulai gelap. Lampu-lampu sudah dinyalakan (gambar 6). Mengambil gambar bersama teman-teman. Mengambil gambar makam bapak pembangunan. Kalau tidak salah kutip, ada 5 batu nisan di dalam makam. Nisan ayah dan ibu beliau, nisan ibu Tien sang istri tercinta, satu lagi saya lupa nanya punya siapa.

Suara adzan maghrib sudah berkumandang. Kami harus menyudahi peziarahan. Waktu dispensasi sudah cukup. Kamipun meninggalkan makam menuju tempat parkir.

“Makam Astana Giribangun ini ramai dikunjungi orang, tapi koq tidak ada pengemis, atau orang yang meminta-minta yaa?” celoteh teman saya yang kelihatannya bingung. Bingung karena hal ini tidak biasanya. “Jangankan pengemis, semua pegawai disini sangat membantu. Ramah. Ringan tangan. Dan yang paling utama, mereka tidak memperlihatkan wajah atau sikap agar diberikan tip atau uang terima kasih”, tambah teman saya yang lainnya. Mereka sepertinya sudah cukup dengan gaji yang diberikan oleh pengelola, dan tidak berharap mendapatkan tambahan penghasilan dari cara meminta-minta secara terselubung.

“Ibu Tutut, mas Bambang dan mas Tommy khan cukup kaya. Tidak pantas jika ada peminta-minta atau pengemis di makam ayah dan ibu beliau” komentar teman saya yang lainnya lagi.

“Pak Harto dan Ibu Tien itu khan figur penting bangsa Indonesia, sama seperti tokoh bangsa yang lain, jadi tidak pantas kalau dilecehkan dengan membiarkan para pengemis berkeliaran disekitar makamnya. Dan sangat tidak bertanggung jawab, jika beban itu hanya kita bebankan kepada mbak Tutut, mas Tommy, Mas Bambang atau anak-anak para tokoh tersebut. Mereka itu bukan hanya milik anak-anaknya atau keluarganya. Tapi milik Bangsa. Memangnya kita tidak malu, dan tidak merasa memiliki bangsa ini…???” Ungkapku sambil menutup pintu Xenia putih yang mengantar kami.

Semoga Allah mengampuni dosa-dosa para pahlawan bangsa, dan menerima tetesan keringat serta perasan fikiran mereka…... AMIN

Salam,
Sukardi Arifin

Note :
Teman-teman dalam photo : Fory, Dewi, Siti, Amirul, Abidin, Ulin dan Pak Tukil.

Read more...

Wednesday, September 16, 2009

Tak ada akar, karton pun jadi.


Image sebuah bangsa dapat dilihat dari berbagai hal. Salah satunya adalah jenis kendaraan yang berkeliaran dijalan-jalan protokolnya. Kota Balikpapan, misalnya. Kota ini dianggap lebih maju dibanding ibukota propinsi Kalimantan Timur, Samarinda. “Lihat saja jenis mobil yang ada….” ungkap seorang pengusaha dari Kaltim. Walaupun sebenarnya masih banyak alat ukur lain yang bisa digunakan.

Jakarta sebagai cerminan Indonesia, seharusnya melirik kembali perda yang mengatur tentang hal ini. Kelayakan kendaraan seharusnya dijadikan perhatian utama. Bukan usia kendaraanya. Kendaraan tua yang dirawat, rasanya lebih punya hak beredar, daripada kendaraan baru yang tak terawat.

Saat melintas di Jl. Casablanca siang tadi (16 Sept 09), saya melihat angkot yang cukup unik. Untuk menghindari terik matahari, kacanya ditutupi kardus indomie sekenanya. Sangat merusak pemandangan, apa ya kesan turis yang menyaksikan hal ini. Seperti biasa, secara otomatis tangan mengambil kamera dan mengabadikannya. Jangan-jangan hal ini hanya terjadi di Negaraku tercinta ini. Lumayan, bisa dapat fhoto pra sejarah. Hiks..!@

Bicara soal angkutan umum, terkenang sekitar 7 tahun lalu. Naik angkutan umum dari Gambir ke Pulo Gadung. Saat itu hujan lebat, kaca angkutan banyak yang sudah tidak ada. Hujan bebas masuk menyirami penumpang yang penuh sesak. Cipratan air tidak hanya dari kaca yang bolong, air plus lumpur juga bisa masuk melalui lantai bus yang sudah keropos. Ditambah lagi abang sopir harus sering mengerem mendadak karena “tiba-tiba” ada trotoar atau mobil di depan bus karna wiper yang tidak berfungsi. Perjuangan kondektur membersihkan kaca depan tidak cukup untuk melawan derasnya hujan. Kalau sampai terjadi kecelakaan, sudah terbayang headline di koran Lampu Merah. BUS REOT MEMBAWA MAUT.

Kondisi bus sejak 7 tahun lalu, ternyata masih bisa ditemukan dengan mudah saat ini. Saya kurang yakin hal ini dijadikan perhatian oleh ORGANDA atau DISHUB. Pasalnya, setiap tahun semua kendaraan umum harus melalui uji kelayakan. Kalau tidak layak, ya tidak dapat ijin trayek. Kalau masih bisa berkeliaran, artinya lulus uji kelayakan dong. Koq begitu bisa lulus yaaa….? Rasanya uji kelayakan harus menyertakan kendaraan yang harus diuji, dan bukan hanya setumpuk berkas dan sebuah amplop putih khan ?

Jika tidak ada aturan mengenai kelayakan kendaraan yang melewati jalan-jalan protokol, maka tidak heran kalau point penyebab kemacetan bisa bertambah satu lagi, karena kendaraan mogok di tengah jalan.

Saya bermimpi dan berharap, suatu hari bapak Presiden mengucapkan satu statement mengenai angkutan dalam sebuah jumpa pers. “Kalau saya ketemu ada truk/bus yang tidak layak beredar dijalan raya. Saya akan minta dephub agar memecat kepala dinas yang mengurusi hal itu…..” begitu kira-kira statementnya.

Hal ini pernah dibuktikan oleh Kapolri, yang menyatakan memerangi CALO pembuatan SIM. Yang dilaksanakan dengan baik oleh para Kapolres. Walaupun saat ini masih bisa ditemukan satu-dua CALO, tapi jumlahnya sudah sangat berkurang. Itupun dengan sembunyi-sembunyi. Kalau Kapolri BISA…khan pak Presiden LANJUTKAN…hehehe….ga nyambung !!!

Salam
Sukardi Arifin

Read more...

Monday, September 14, 2009

Petunjuk Jalan



Melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri, Sendirian? Kendala yang terbayang dari sebagian orang yang belum pernah melakukan perjalanan keluar negeri, adalah tersesat. Alasan ini didasarkan pada kondisi di Negara kita, dan menganggap akan sama dengan yang ada diluar sana.

Teman saya dari Bandung, biasanya menggunakan bis atau kereta untuk menuju Jakarta. Selanjutnya, ketempat manapun menggunakan jasa taksi. Kali ini, untuk pertama kalinya dia ke Jakarta dengan menyetir sendiri, dengan tujuan Mal Blok M. Sudah saya ingatkan agar banyak bertanya, dan jangan sok tau. “Jalan-jalan di Bandung memang lebih sulit dengan banyaknya jalur satu arah, tapi jalan di Jakarta sangat panjang dan jumlahnya sangat banyak, sekali kesasar bisa bablas ke Tangerang atau malah ke Cikarang”, begitu kurang lebih pesan saya sebelum dia memulai kenekatannya. Tapi, dia ingin mencoba keberuntungannya. Dia ingin mencoba tidak bertanya sama sekali, dan hanya bergantung pada petunjuk jalan yang ada. Nekat
bin Konyol !!!

Di Jalan-jalan seluruh Indonesia, kita harus banyak bertanya. Karena petunjuk arah yang diinginkan sangat sulit ditemui, bahkan setelah ditemui pun sangat sulit diikuti. Saya dan rekan yang sudah berulangkali ke Mal Blok M, masih saja bingung harus berputar dimana. Kalau sampai salah, terpaksa harus berurusan dengan pak Polisi.

Kembali ke Teman saya yang nekat tadi. Masuk Pintu tol Pasteur Bandung jam 10 lewat 12 menit dan baru berhasil sampai di Mal Blok M jam 9 lewat 43 menit di malam hari. Dia tidak bertanya sama sekali. Bahkan saat ditangkap polisi sebanyak 3 kali karena salah jalan, dia tidak menyebutkan tujuannya adalah Mal Blok M. Dia sangat puas, dan juga sadar bahwa di Jakarta sangat minim informasi petunjuk jalan yang sistematis. Rute Bandung - Blok M, harus melewati jalan Tanjung Priok, Ancol, Grogol, Slipi, Tanah Abang, Harmoni, Pasar Baru, Kemayoran, Cempaka Putih, Senen, Gambir, Thamrin, Sudirman dan Mal Blok M. Untungnya Gambir, Thamrin dan Sudirman adalah jalan poros yang tidak terputus. Kalau tidak, bisa-bisa lebih lama lagi. Karena, teman saya berprinsip baru akan berbelok arah kalau benar-benar sudah mentok. “Melelahkan, menantang, menjengkelkan, tapi menyenangkan!” ungkapnya.

Saya ingin dia mencoba rute Jogjakarta, karena kalau salah arah dan nunggu mentok baru berbelok, dia akan bertemu dengan kota Solo atau kota Semarang.

Tersesat dan salah jalan merupakan hal biasa di negara ini. Tidak heran kalau sopir taksi sering menyampaikan “kalau tidak tahu jalan, bisa mutar jauh atau malah ga sampai ke tujuan”. Jadi, syaratnya harus tahu jalan. Bagaimana mungkin mengetahui jalan, sementara ini kali pertama ke Jakarta. Celaka!

Keberadaan sebagian petunjuk jalan di Jakarta sangat memprihatinkan. Lantaran ada yang rubuh tertabrak bus, terhalang pepohonan, terhalang spanduk/baliho liar, atau warna dan tulisannya hilang karena tidak ada jadwal perawatan yang terskedul.

Gambar no 5 di atas cukup unik. Gambar petunjuk jalan di Indonesia. Uniknya lantaran diketahui bahwa tinggi petunjuk jalan, sudah disesuaikan dengan ukuran kendaraan yang ada. Tapi masih saja penyok akibat tertabrak atap kendaraan, jadi berapa tinggi kendaraan yang melintas? Apakah tidak akan membahayakan jembatan penyeberangan yang ada didepannya?

Di awal, saya memulai tulisan dengan perjalanan dinas keluar negeri. Saya jadi terkenang saat pertama kali berkunjung ke negeri jiran kita, Malaysia. Saya buka lagi arsip-arsip photo selama perjalanan. Empat photo (No 1-4) yang lain mungkin bisa memberikan inspirasi.

Apa yang berbeda dari lima gambar di atas?
Mereka memberikan petunjuk dengan sangat jelas pada hampir semua persimpangan, baik di persimpangan kecil maupun besar. Hampir disemua tempat. Bahkan hal-hal yang mungkin tidak kita anggap penting pun mereka informasikan. Seperti lokasi bank, hotel, tempat bermain, kantor pos, pom bensin dan kantor-kantor pelayanan publik lainnya.

Teman saya mungkin pernah ke Genting Highland Malaysia, sehingga dia sangat yakin dapat menemui Mal Blok M tanpa perlu bertanya. Seingat saya, selama dua hari di Genting Highland, saya tidak pernah bertanya dimana letak restaurant, toko buku, minimarket atau lainnya. Saya dapat berjalan kemana saja tanpa merasa khawatir kesasar. Saya hanya dengan mengandalkan petunjuk arah, dan bisa sampai ditujuan melalui jalan utama atau atau jalan pintas. Rasanya logika sopir taksi “kalau tidak tahu jalan, bisa mutar jauh atau malah ga sampai ke tujuan dan syaratnya harus tahu jalan” tidak berlaku di tempat ini.

Kapan ya kita bisa YAKIN bahwa 20KM di depan akan ada Minimarket, Pom bensin atau ATM, padahal kita tidak pernah melewati jalan tersebut sebelumnya ???

Saya memiliki keyakinan bahwa para Pengusaha Rastaurant, Perbankan, Pom Bensin, Hotel, Perumahan dan pemilik Mal, bersedia sharing biaya untuk memasang informasi tersebut disetiap persimpangan jalan. SEMOGA DAPAT TEREALISASI.

Salam
Sukardi Arifin

Read more...

Tuesday, September 8, 2009

Lagu Indonesia Raya

Heboh juga berita soal anggota DPR yang lupa menyanyikan lagu Indonesia Raya. Apalagi saat sidang paripurna dengan agenda pembukaan masa sidang terakhir DPR serta pidato kenegaraan Presiden dalam rangka HUT RI ke 64 tanggal 14 Agustus 2009 lalu. Hampir semua media nimbrung membahas KEALPAAN ini. “Tidak mungkin orang sebanyak itu, bisa lupa, apalagi mereka bukan orang biasa, mereka tidak nasionalis, mau jadi apa bangsa ini, ini merupakan PERTANDA…….”, begitu komentar para wartawan, para penulis, pengamat dan orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai pemerhati keutuhan bangsa. Mengharukan, jika rasa nasionalis seseorang diukur dengan menggunakan parameter asal teplok.

Lagu Indonesia Raya wajib dikumandangkan pada setiap mengawali dan mengakhiri kegiatan kenegaraan. Tanpa kecuali. Apalagi di gedung DPR. Tempat para dewan dan orang-orang terhormat bangsa ini berkumpul.

Permintaan maaf dari Agung Laksono selaku ketua DPR yang sedang menjabat, dianggap sebagai pembelaan diri. Lebih heboh lagi, ketua fraksi yang notabene juga menjadi bagian dari kealpaan itu, malah ikut protes. Walah….!!! Orang lupa koq di protes, bukannya diingetin. Aya-aya wae…..! Seingat saya, baru kali ini, orang “lupa” di obok-obok dan dipermasalahkan.

Saya jadi teringat dua kejadian berkaitan dengan hal ini.
Pertama, ketika saya melakukan sosialisasi mengenai program konversi minyak tanah ke LPG ukuran 3Kg di kabupaten Ogan Komiring Ilir (OKI) Sumatera Selatan, pertengahan 2008 lalu. Tidak seperti biasanya, acara ini dibuat menjadi sangat formal. Sangat protokoler. Padahal yang hadir, sebagian besar adalah masyarakat umum, dan pemkab diwakili oleh Asisten dua (Asda) bidang perekonomian. Ketika protokol meminta hadirin untuk berdiri dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, saya menangkap wajah yang terheran-heran. “Acara begini aja koq pake lagu Indonesia Raya segala sih..?”, mungkin begitu fikiran mereka. Seingat saya, selama tahun 2008, setidaknya saya memberikan pemaparan mengenai konversi tidak kurang dari lima puluh kali. Baik di Jawa tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Jawa Timur dan Sumatera Selatan. Dan, hanya kebupaten Ogan Komering Ilir itu tadi.

Kejadian kedua, saat Presiden Amerika yang ke 44, Barack Obama dilantik. Beliau salah mengucapkan sumpah jabatan. Bukankah tidak sepantasnya seorang presiden, apalagi presiden Amerika, melakukan kesalahan? Terutama dimuka umum dan diliput oleh media di seluruh dunia. Apa kata Obama saat itu? “Ini adalah hal biasa, mari kita ulangi….”!!

Apa yang bisa diambil dari kedua kejadian itu?
Pada kejadian pertama, sepertinya sudah menjadi kesepakatan tidak tertulis, bahwa lagu kebangsaan Indonesia Raya, tidak wajib dinyanyikan oleh masyarakat umum. Lagu kebangsaan itu hanya diwajibkan bagi anak-anak sekolah dan para pejabat pemerintah. Diluar dua kelompok itu, apakah karyawan swasta, sopir angkot, wartawan, atau apapun pekerjaannya, selama bukan anak sekolah dan pejabat pemerintah, tidak wajib menyanyikan Indonesia Raya. Walaupun hanya satu kali dalam setahun. Mungkin sudah saatnya bertanya kepada diri sendiri, kapankah terakhir kita menyanyikan lagu Indonesia Raya? Saya sempat berkali-kali menghadiri acara panjat pinang, lomba karnaval atau perlombaan lain yang dilakukan untuk menyambut hari Kemerdekaan RI. Tapi, saya tidak melihat ada pak RT, atau pak RW atau bahkan pak Lurah yang memulai perlombaan dengan mengajak anak-anak atau para peserta untuk mengumandangkan lagu Indonesia Raya.

Kedua, kita cenderung membesar-besarkan masalah yang tidak substantial. Presiden Amerika saja bisa melupakan hal seperti itu, soalnya dianggap tidak begitu penting, karena mereka memiliki urusan yang jauh lebih penting untuk diurusi. Mengapa kita membahas yang tidak penting sampai berhari-hari, semua media “turun gunung”. Mendatangkan para pengamat, untuk berdialog dan mengamati fenomena kelupaan tersebut. Apa yang diamati? Bukankah sudah menjadi rahasia umum bahwa para siswa yang mengumandangkan Indonesia Raya tanggal 17 setiap bulannya pun masih banyak yang tidak hafal teksnya. Atawa, jangan-jangan para pengamat yang menamakan dirinya sebagai pemerhati keutuhan bangsa pun tidak hafal lagu Indonesia Raya. “...Uedan tenan, rek..”, mungkin gitu ungkapan para bonek.

Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan ungkapan yang sudah sering disampaikan :
Mulailah dari diri sendiri, dari hal paling kecil dan dari SEKARANG.

Bagaimana kalau semua yang membaca tulisan ini, memulai untuk membiasakan pada acara HUT RI dilingkungan RT masing-masing agar memulai lomba dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya. At least, kita dapat turut menyanyikan lagu kebangsaan kita itu sekali dalam setahun. JANGAN KIRIM TULISAN INI KEPADA PEMERINTAH. Jangan meminta pemerintah untuk membuat peraturan tersebut. Jangan! Mulai saja dari diri Sendiri dan lingkungan sendiri. Jangan meminta RT lain di pulau lain untuk menyanyikan Indonesia Raya saat perayaan HUT RI, sementara di RT kita sendiri tidak dikumandangkan.

Berikut ini saya ikutkan Teks Lagu Indonesia Raya. Siapa tahu saking lamanya tidak menyanyikannya, kita pun sudah melupakan syairnya.

Indonesia Raya
Indonesia tanah airku
Tanah tumpah darahku
Disanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku
Indonesia kebangsaanku
Bangsa dan Tanah Airku
Marilah kita berseru
Indonesia bersatu

Hiduplah tanahku
Hiduplah negriku
Bangsaku Rakyatku semuanya
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya


Dalam teks lagu asli yang ditulis oleh Wage Rudolf Soepratman, pada tahun 1924 ada tambahan teks berikut ini :

Indonesia Tanah yang mulia
Tanah kita yang kaya
Di sanalah aku berada Untuk slama-lamanya

Indonesia Tanah pusaka Pusaka Kita semuanya
Marilah kita mendoa Indonesia bahagia

Suburlah Tanahnya Suburlah jiwanya
Bangsanya Rakyatnya semuanya

Sadarlah hatinya Sadarlah budinya
Untuk Indonesia Raya

Indonesia Tanah yang suci Tanah kita yang sakti
Disanalah aku berdiri ‘njaga ibu sejati

Indonesia! Tanah berseri Tanah yang aku sayangi
Marilah kita berjanji Indonesia abadi

Slamatlah Rakyatnya Slamatlah putranya
Pulaunya lautnya semuanya
Majulah Negrinya Majulah Pandunya
Untuk Indonesia Raya


Salam
Sukardi Arifin

Read more...

Monday, September 7, 2009

MAGNET BISNIS SELULAR

Pertumbuhan dunia selular yang spektakuler juga dipicu oleh kepemilikan multi ponsel oleh konsumen. Termasuk pula dalam ragam penggunaannya. Hal ini ke depan akan turut mendorong bidang bisnis lain untuk ikut menceburkan bisnisnya dalam dunia selular. Bagaimana Prediksinya

Saat ini, kebutuhan akan komunikasi semakin tidak dapat dihindarkan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh SurveyOne baru-baru ini, lebih dari 50% pengguna ponsel, menelpon (call out) antara 9-15 kali dalam sehari. Bahkan, 7.4% diantaranya mengaku menelpon lebih dari 20 kali dalam sehari. Disisi lain, pengunaan ponsel untuk mengirim pesan singkat (SMS), rata-rata 53 kali dalam sehari. Frekuensi mengirim SMS bagi kelompok remaja, jauh lebih tinggi. Dalam sehari, rata-rata 78 pesan singkat yang dikirim oleh kelompok ini.

Dengan kenyataan ini, rasanya kebutuhan akan komunikasi dapat digolongkan menjadi salah satu dari 10 kebutuhan pokok, melengkapi sembilan kebutuhan pokok yang sudah dikenal lebih dulu.

Menurut Asosiasi Telepon Selular Indonesia (ATSI), pertumbuhan jumlah handset rata-rata 20% per tahun. Pada bulan November 2007, jumlahnya telah mencapai 80 juta handset. Diperkirakan pada medio 2009 ini, jumlah yang beredar di seluruh Indonesia sekitar 115 juta. Angka ini masih lebih kecil bila dibandingkan dengan data yang di release oleh Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), yang mencapai angka 160 juta handset. Tidak mengherankan jika benda yang satu ini bisa ditemukan dimana saja. Di sawah, gunung, pulau kecil apalagi di perkotaan.

Pertumbuhan ini juga didorong oleh kebiasaan masyarakat perkotaan untuk memiliki lebih dari satu handset. Dengan alasan memisahkan urusan pribadi dan bisnis, sebanyak 45.2% mengklaim harus memiliki dua handset. Tidak hanya dua, 7.2% terpaksa harus memisahkan urusan keluarga, bisnis dan sangat pribadi, sehingga harus memiliki tiga sampai empat buah handset.

PASAR LOW dan HIGH END
Seperti produk-produk lainnya, karakter pasar Handphone pun berbentuk seperti piramida. Dimana pasar dibagi dalam tiga segmen, pertama adalah segmen Low-End. Pasar Low-End adalah kelompok masyarakat yang menggunakan ponsel dengan harga maksimal Rp 1,5 juta. Segmen ini sangat besar, dengan persentase mencapai 65.2%, hampir semua produsen ponsel nyemplung di segmen ini. Segmen berikutnya yang juga cukup besar adalah segmen dengan range harga ponsel antara Rp 1,5 juta hingga Rp 4 juta sebesar 29.2%. Sementara pangsa pasar High-End hanya sebesar 5.6%.

Pilihan merek dan jenis handphone pun semakin beragam. Berbagai Fitur terus dikembangkan dan ditawarkan oleh para produsen. Research in Motion (RIM) selaku produsen Blackberry, cukup mengejutkan pasar handphone pada awal tahun ini. Dengan keunggulan push email dan selalu terhubung pada global news and network, BB (demikian biasa merek ini disebut), mulai mengenggam 0.4% pangsa pasar.

Nokia, sebagai merek yang cukup lama bermain di pasar Indonesia, tidak melepaskan ketiga segmen pasar yang ada. Secara keseluruhan, Nokia merupakan merek yang paling banyak digunakan. Lima besar merek-merek ponsel yang digunakan adalah Nokia (72.2%), Sony Ericsson (22.6%), Esia/Huawei (9.6%), Samsung (5.4%), dan Motorola (3.8%).

ALASAN dan PERILAKU
Strategi tepat sasaran mesti terus dikembangkan oleh para produsen ponsel untuk dapat meraih pasar Indonesia yang semakin competitif. Konsumen Indonesia memiliki perilaku yang berbeda saat membeli ponsel yang pertama (ponsel utama) dengan ponsel yang kedua (ponsel pelengkap). Pemahaman terhadap perbedaan ini akan membantu dalam menajamkan strategi.

Ponsel dengan kualitas bagus, easy to use dan modelnya menarik menjadi pertimbangan utama dalam memilih ponsel pertama kali atau untuk mengganti ponsel utama. Sementara untuk ponsel kedua, harga murah, pilihan modelnya banyak, dan teknologinya CDMA/ DUAL yang dijadikan sebagai syarat utama.

Tidak cukup hanya sekedar mengetahui hal-hal yang dijadikan pertimbangan dalam memilih sebuah ponsel, untuk mengembangkan marketing strategy. Lebih jauh lagi, mengetahui kebiasaan konsumen saat akan membeli ponsel, akan memberikan masukan yang sangat berharga dalam menentukan pilihan terhadap bentuk komunikasi yang akan digunakan. Peluang untuk dijadikan sebagai pilihan, bagi merek ponsel yang tidak melakukan komunikasi Above the Line, hanya 20.2%. Karena, 79.8% konsumen yang akan membeli ponsel, telah menentukan merek yang akan dibeli. Walaupun 14.6% diantaranya akan berdiskusi dengan penjual terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk membeli sebuah merek ponsel. Artinya, peran penjaga toko dalam mempengaruhi konsumen yang akan membeli ponsel adalah 34.8%.

Berapa kali anda melakukan penggantian ponsel dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini? Jika anda belum mengganti ponsel dalam kurun waktu tersebut, anda termasuk 30% konsumen ponsel di Indonesia. Sisanya, 70% konsumen menyatakan bahwa mereka melakukan penggantian ponsel dalam rentang waktu dua tahun. Selanjutnya, konsumen yang melakukan pengantian sedikitnya sekali dalam dua tahun sebanyak 18.8%, dua kali (27.2%), tiga kali (15.0%), empat kali (5.4%) dan mengganti ponsel lebih dari empat kali adalah 3.6%.

Alasan melakukan penggantian ponsel pun cukup beragam. Mulai dari mengganti dengan model yang lebih baru (57.1%), hilang (15.2%), rusak (14.0%) hingga karena fiturnya dirasakan sudah tidak memadai lagi (10.0%).

ASURANSI HANDPHONE
Pasar ponsel sangat besar dan pertumbuhannya relatif konsisten. Pasar ini masih cenderung akan meningkat dalam dua sampai tiga tahun ke depan. Pertumbuhan ini, memiliki daya tarik yang kuat. Sehingga tidak hanya produsen ponsel saja yang terus bertambah. Produsen asesoris pun ikut mengail rejeki. Sebut saja, bisnis chasing, cover, dan memory card. Terakhir, bisnis asuransi ponsel pun tidak mau ketinggalan.

Tingkat kerusakan ponsel relatif tinggi, mencapai 73.2%. Penyebabnya bermacam-macam. Bisa saja dari cara penggunaan yang tidak tepat, maupun akibat cacat produksi. Jenis kerusakan pun bermacam-macam, hang, baterai drop, mati total, keypad yang kurang berfungsi, terjatuh hingga terendam air.

Memahami keadaan ini, para pemain di bisnis asuransi, menangkap peluang pasar. Premi berdasarkan harga ponsel dengan kisaran antara Rp 50 ribu hingga Rp 250 ribu yang berlaku selama satu tahun untuk ponsel baru, mereka akan memberikan fasilitas perbaikan untuk semua jenis kerusakan. Baik untuk kerusakan akibat cacat produksi maupun akibat kelalaian penggunaan, seperti terjatuh dan terendam air. Premi ini belum men-cover kehilangan.

Tingkat ketertarikan masyarakat pengguna ponsel pun cukup tinggi, mencapai 61,8%. Artinya, masih terdapat gap kepuasan masyarakat terhadap pelayanan perbaikan ponsel selama ini. Selanjutnya, kita tunggu bisnis apa lagi yang akan tersedot oleh pasar ponsel di Indonesia.

Sukardi Arifin

Read more...

FUTSAL: Mau Prestasi atau Bisnis?

Lapangan futsal mulai menjamur di kota-kota besar Indonesia. Selain berpotensi menjaring bakat baru, juga menjadi lahan bisnis yang cukup menjanjikan.

“Jay… kamu harus berani penetrasi. Andrian… lawan kamu mana? Ayo, masing-masing konsentrasi, perhatikan gerak lawan dan gerak kawan,” teriak Justinus Lhaksana, ketua pelatih tim futsal nasional dari luar lapangan.

Justin, demikian sang pelatih biasa dipanggil, berwajah cukup tampan untuk ukuran pelatih futsal. Tapi pria ini sarat pengalaman. Tiga putaran berturut-turut ia membawa Cosmo FC Jakarta memimpin klasemen liga futsal nasional. Makanya, target masuk final di Sea Games Thailand 2007 yang dibebankan di pundaknya, rasanya cukup realistis.

Sejumlah pemain terbaik dari berbagai klub pun sudah dipilih untuk masuk pelatnas. Sebut saja Vernard Hutabarat, Andrian Asuri, Sayan Karmadi, dan Jaelani Ladjanidi. “Selama bulan Mei-Juli saya menggenjot latihan fisik. Dua kali sehari, pagi-sore. Nah, baru pada Agustus saya akan konsentrasikan pada taktik dan strategi, sementara porsi fisiknya mulai dikurangi,” ungkap Justin bersemangat. Peningkatan prestasi yang dicapai
timnya dalam dua bulan terakhir, membuat Justin optimis timnas futsal ini mampu memenuhi harapan bangsa Indonesia.

Dianggap Sama
Istilah Futsal diambil dari bahasa Spanyol dan Portugis, kata “FUTbol atau FUTebol” yang berarti “sepak bola”; dan dari bahasa Perancis atau Spanyol, kata “SALon atau SALa” yang artinya “dalam ruangan”. Jadi futsal sama dengan sepak bola dalam ruangan.

Permainan ini berasal dari Montevideo, Uruguay. Waktu itu, sekitar tahun 1930, Juan Carlos Ceriani menyelenggarakan kompetisi sepak bola untuk kalangan remaja. Hanya saja jumlahnya terbatas, masing-masing tim terdiri dari 5 pemain (termasuk penjaga gawang). Tempatnya pun di lapangan basket yang beralaskan partikel kayu, bukan rumput seperti sepak bola pada umumnya. Dari sinilah, futsal terus menggelinding dengan cepat ke berbagai negara.

Brasil merupakan satu-satunya negara yang paling banyak memenangkan kejuaraan futsal. Sepanjang 1965-1979, dari tujuh kali kejuaraan, Brasil enam kali menyabet South American Cup. Tidak hanya itu, tahun 1980 dan 1984 mereka juga menggondol Pan American Cup. Masih belum puas juga, Brasil menjuarai Futsal World Champion (FWC) tahun 1982, 1985, 1989 dan 1992. Tapi baru pada 1989, futsal menjadi agenda FIFA dan rutin dilaksanakan tiap 4 tahun sekali. Terakhir, FWC diadakan di Taipei tahun 2004. Saat itu, Brasil harus merelakan piala direnggut oleh Spanyol.

“Futsal sendiri masuk ke Indonesia sejak 2002. Kala itu, menggandeng McDonald’s sebagai sponsor. Hanya dalam hitungan bulan, tepatnya Oktober 2002, Indonesia dipilih menjadi tuan rumah kejuaran futsal tingkat ASEAN,” jelas Patilatu, Direktur Umum Badan Futsal Nasional (BFN). BFN adalah salah satu badan PSSI yang dibentuk untuk mengurusi futsal—mulai dari event, liga hingga pengembangan prestasi. Sementara PSSI mengurusi tingkat internasional.

Di tingkat internasional, timnas futsal Indonesia mulai ikut kejuaraan Asia di Makau dan babak pra-kualifikasi FWC 2004 di Taipei. Sedang di Olimpiade di Athena lalu, futsal masih menjadi pertandingan exhibition. Dengan wajah berseri, pria yang biasa disapa Are ini menambahkan, di Sea Games Thailand bulan Desember nanti, futsal sudah menjadi cabang olahraga yang memperebutkan medali.

Di beberapa negara Asia, termasuk Indonesia, mini soccer atau sepak bola di lapangan berukuran kecil pun sering disebut futsal. Sebagian besar lapangan futsal di negeri kita pun menggunakan rumput sintetis (artificial grass). Padahal, menurut aturan FIFA, lapangan futsal seharusnya beralaskan karpet, karet atau partikel kayu. Itu sebabnya, BFN memakai karpet untuk penyelenggaraan liga. “Di Jakarta sendiri,” kata Are, “hanya ada dua lapangan yang sesuai standar FIFA, yaitu di Planet Futsal Kelapa Gading dan di Senayan Trade Center.”

Perbedaan lainnya terletak pada ukuran lapangan. Panjang lapangan futsal nasional berkisar antara 25m-42m dan lebarnya 15m-25m; sementara untuk pertandingan internasional panjangnya 38m-42m dengan lebar 18m-22m. Di beberapa futsal center, ukuran lapangannya cuma disesuaikan dengan luas lahan yang ada.

Futsal pun menggunakan bola, sepatu dan peraturan yang berbeda dengan sepak bola. Tapi gaya bermain futsal sering masih mengikuti gaya sepak bola pada umumnya. Akibatnya, pelanggaran seperti tackle atau body charge acap ditemukan. Mungkin, penggunaan rumput sintetis ini ditujukan untuk mengakomodasi gaya sepak bola konvensional yang dianut para pemain futsal kita. Asal tahu saja, Ronaldinho, pemain asal Brasil yang saat ini memperkuat klub Barcelona, tadinya juga pemain futsal sebelum dia terjun ke sepak bola profesional. Futsal memang sangat cocok untuk belajar skill mengolah bola dan rotasi posisi dengan cepat di area yang sempit.

Menurut Are, menjamurnya lapangan futsal belum berpengaruh secara langsung terhadap prestasi tim futsal nasional. Saat ini, timnas berada pada peringkat ke-11 di Asia. Posisi papan atas masih dikuasai Jepang, Iran, China, dan Korsel. Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia berada di posisi kedua setelah Thailand. “Secara prestasi, ini belum menggembirakan. Tapi seluruh jajaran terkait sedang berupaya keras mencapai prestasi tertinggi,” paparnya.

Futsal memang masih tergolong baru di negeri kita. Di samping itu, minimnya tempat latihan dan banyaknya lahan futsal yang menggunakan sarana yang salah, menjadi penyebab sulitnya mencari bakat-bakat baru pemain futsal.

Di Eropa dan Amerika, terutama di Amerika Selatan, futsal dan soccer adalah dua cabang olahraga dan bisnis yang berbeda. Pemain mini soccer lebih diarahkan untuk berprestasi sebagai pemain sepakbola, bukan sebagai pemain futsal. Tapi karena kadung dikenal sebagai futsal, ya... kita sebut saja semuanya sebagai futsal. Kali ini ungkapan Shakespeare tentang “apalah arti sebuah nama” terasa pas.

Minimal Tiga Lapangan
Pertumbuhan bisnis futsal di Indonesia sangat signifikan, kalau boleh dibilang ruarr biasa. Bukan cuma di Jakarta. Di Surabaya, Bandung, Medan, Palembang, Makassar, dan kota-kota besar lain, lapangan futsal bermekaran laksana puspa di musim semi. Futsal menjadi jawaban atas sempitnya lahan bermain di daerah perkotaan. Saat ini, banyak lahan kosong dan lapangan olahraga lain yang berubah wajah menjadi lapangan futsal. Lapangan itu tidak hanya dimiliki oleh Pemda melalui gedung-gedung olahraga (GOR), tapi makin hari makin banyak pula pengusaha yang mencoba terjun ke bisnis ini.

Di Kelapa Gading, Jakarta, sedikitnya sudah berdiri tiga futsal center: Planet Futsal, Cosmo Futsal, dan Gading Futsal. Ketiganya berada di kawasan yang dekat dengan lokasi perkantoran. Gading Futsal, misalnya, diapit oleh empat kompleks perkantoran. Penentuan lokasi adalah hal utama bagi pebisnis futsal. “Lokasi ini sesuai dengan target market kami, yaitu para pebisnis, karyawan, dan masyarakat sekitar,” ungkap Ardy Ang, Presdir Gading Futsal. Karenanya, untuk harga sewa pada hari Sabtu/Minggu (pukul 17.01-23.00) dipatok lebih murah ketimbang pada hari kerja (lihat tabel).

Tiga bulan sejak diresmikan, Gading Futsal kebanjiran pelanggan. Rata-rata member sudah kontrak untuk 3-6 bulan ke depan. Sehingga, untuk mengganti jadwal pun butuh waktu sedikitnya tiga bulan. Sirkulasi udara yang sangat baik, kualitas lapangan, warna-warni rumput sintetik yang dipilih, serta pelayanan merupakan keunggulan yang ditawarkan. “Kami sudah merancang dari awal untuk membangun futsal center yang berkualitas dan sehat,” tambah Ardy berpromosi.

Gurihnya bisnis futsal juga dirasakan oleh PT Premium Interindo (PI), penyedia perlengkapan futsal. Ordernya datang dari Jakarta, Palembang dan juga Makassar. Menurut Tony S. Tanuwidjojo, Business Unit Manager PI, investasi untuk satu lapangan futsal dengan kualitas material dari Eropa sekitar Rp 250 juta. Angka ini belum termasuk biaya untuk konstruksi dan fasilitas pendukung seperti kafe, shower, toilet dan locker.

Kualitas lapangan sangat ditentukan oleh jenis rumput sintetisnya. Rumput sintetis menyedot biaya sebesar 70%, kemudian 20% untuk tali dan gawang serta 10% untuk biaya pemasangan dan lainnya. Merek rumput sintetis seperti Domo dari Belgia dan Fieldturf dari Perancis bisa awet hingga 5 tahun lebih untuk penggunaan lapangan yang rutin.

Rupanya bukan cuma produk elektronik dan motor yang diserbu oleh produk China. Rumput sintetis pun ikut diinvasi. Parksform adalah salah satu merek asal China yang cukup banyak digunakan. Perbedaan produk Eropa dengan China terletak pada kualitas yarn (benang) dan UV Stabilizer-nya. Tony berpendapat, produk China hanya mampu bertahan sekitar 2-3 tahun.

Menyadari persaingan bisnis sangat ketat, selain menjadi showroom perlengkapan futsal, PI juga menawarkan servis tambahan berupa pemasangan dan konsultasi sebagai added value. Klien yang ingin berinvestasi di bisnis indoor soccer akan diberikan konsultasi. Mulai dari persiapan konstruksi, pemasangan jaring, rumput sintetis, pemeliharaaan sampai memperkenalkan mereka ke Coaching Clinic untuk pembukaan kelas pelatihan. “Dasar-dasar manajemen untuk bisnis ini juga kami konsultasikan, sehingga klien yang mulanya belum ada gambaran, akan mendapatkan proyeksi income dan ROI (return on investment) yang lebih jelas. Semuanya kami buat dalam simulasi komputer,“ papar Tony bersemangat.

Biaya lain seperti jaring lapangan (netting) berkisar Rp 20-25 juta, sedang sepasang gawang harganya Rp 3 juta. Jadi total investasi untuk sebuah lapangan diperkirakan sekitar Rp 500 juta. Beberapa pengusaha di bisnis ini tidak bersedia menyebutkan total nilai investasinya. Tapi mereka tidak menolak ketika disodorkan angka 1,5-2 miliar untuk membangun sebuah futsal center dengan kapasitas tiga lapangan. Menurut Ardy, setiap futsal center sebaiknya memiliki minimal tiga lapangan agar lebih optimal. “Untuk tiga lapangan saja, baru bisa break even point setelah dua tahun lebih,” prediksi Ardy.

Lantaran investasinya lebih dari 1 miliar, wajarlah jika harga sewanya pun terbilang tinggi. Harga sewa lapangan per jam terbagi menjadi dua kelompok weekday dan weekend, serta pagi-sore dan sore/malam. Penentuan pricing sangat ditentukan oleh “peak time”. Beberapa fasilitas tambahan seperti shower panas/dingin, kafe, rompi, wasit, locker, dan lainnya menjadi nilai tambah yang sering digembar-gemborkan.

Di sejumlah tempat, lapangan futsal dipenuhi oleh para profesional muda. Ervin, manajer keuangan sebuah perusahaan konsultan rutin ber-futsal-ria usai jam kerja. Dia bahkan sudah mengontrak lapangan setiap Rabu untuk 6 bulan di Gading Futsal. “Mainnya dengan teman dari perusahaan lain dalam satu grup. Biarpun enggak ada yang jago futsal, tapi lumayanlah buat ngilangin stres dan bikin badan tetap bugar,” kata Ervin sambil menyeka keringat.

Para penggila futsal ini memang tidak bermaksud menjadi pemain profesional. Mereka pun cenderung tidak terlalu peduli dengan perbedaan futsal dengan mini soccer. Yang jelas, permainan futsal tidak keras, tidak ada body touch dan bisa dimainkan sambil ledek-ledekan, “Just for fun,” cetus Bobby Satya, Marketing Manager dari HRC. Ya, for fun bagi pemain, tapi make fun bagi pebisnis.

Sukardi Arifin
Hape : 081810306383

Read more...

Wednesday, August 5, 2009

Memasarkan Jasa

Beberapa tahun lalu, praktisi pemasaran masih percaya bahwa tugas manajer pemasaran dalam bidang jasa, sama saja dengan manajer pemasaran yang memasarkan barang (Consumer Goods). Dengan kata lain, jurus-jurus yang digunakan untuk memasarkan hotel, asuransi, perbankan, transportasi, profesional dan jenis-jenis jasa lainnya, akan sama dengan jurus-jurus pemasaran yang digunakan untuk memasarkan produk-produk seperti handphone, motor, alat-alat eletronik dan lainnya.

Dengan semakin tingginya perkembangan industri jasa, praktisi pemasaran mulai menaruh perhatian khusus terhadap strategi untuk memasarkan jasa. Manajer pemasaran yang percaya bahwa ilmu pemasaran untuk barang dapat dengan mudah diaplikasikan untuk jasa, lambat laun akan menyadari bahwa cara semacam ini tidaklah efektif.

Service atau jasa ternyata mempunyai sifat yang unik. Oleh karena sifatnya yang unik, jurus-jurus pemasaran untuk jasa tentunya juga harus berbeda.

Jasa bersifat “intangible” atau sesuatu yang tidak kelihatan. Konsumen tidak dapat melihat jasa dan tidak dapat meraba atau merasakannya. Berbeda dengan barang seperti produk elektronik, calon pembeli dapat melihat dan meraba sebelum memutuskan untuk membeli merek tertentu, maka calon pembeli jasa akan mengalami kesulitan untuk melakukan hal ini.

Bagi perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa, mengkonkritkan jasa memiliki tantangan tersendiri. Hal ini dilakukan agar calon pembeli dapat lebih memahami jasa yang mereka tawarkan. Ini jurus pertama dalam memasarkan jasa.

Secara umum, ada dua hal yang dapat dilakukan oleh pemasar jasa. Pertama, dengan mengkomunikasikan harga dari jasa tersebut. Oleh karena sifat jasa yang sulit dievaluasi, maka calon pembeli atau pelanggan melakukan penilaian terhadap jasa tersebut lebih banyak didasarkan atas harga. Mereka berpikir bahwa semakin mahal suatu jasa, akan semakin tinggi pula kualitas dari jasa tersebut.

Ini jelas bukan hanya merupakan suatu tantangan bagi pemasar jasa tetapi sekaligus merupakan kesempatan. Kalau dokter A mempunyai tarif sebesar Rp 250.000 per kunjungan, maka pasien akan lebih cenderung mengatakan bahwa dokter A lebih baik daripada dokter B yang hanya mengenakan tarif sebesar Rp 150.000 per kunjungan, dengan kondisi si pasien sama-sama tidak mengenal kedua dokter tersebut.

Sekolah unggulan seperti Al-Ashar dan President University yang mengenakan uang pangkal beberapa kali lipat dibandingkan sekolah biasa, persepsi kualitasnya banyak dibantu oleh karena mahalnya biaya yang harus dibayar oleh orang tua murid. Mereka percaya, bahwa semakin mahal biaya sekolah semakin bagus pula mutunya.

Tentunya, tidak semua jasa dapat menggunakan harga untuk memberikan sinyal atau isyarat kepada calon konsumen bahwa jasa yang mereka tawarkan berkualitas tinggi. Kalau jasa tersebut sudah menjadi mirip komoditi, sudah semakin banyak pesaing yang menawarkan jasa serupa dan pelanggan juga sudah mempunyai banyak informasi, menetapkan harga premium untuk jasa tidak akan secara otomotis dinilai positif oleh calon pembeli.

Produk asuransi, tentusaja akan mengalami kesulitan jika hanya mengandalkan harga sebagai suatu isyarat akan tingginya kualitas jasa yang mereka tawarkan. Karena jasa pada bisnis ini sudah menjadi seperti komoditi.

Cara kedua untuk mengkonkritkan jasa adalah dengan cara men-tangible-kan jasa. Jasa yang tidak kelihatan dibuat menjadi lebih nyata dengan cara merepresentasikan dalam bentuk suatu barang yang terlihat. Ini merupakan usaha untuk membendakan jasa. Hal ini akan mempermudah calon pembeli untuk melakukan evaluasi.

Sebuah klub golf yang eksekutif, dapat membuat kartu keanggotaan yang berlapis emas. Ini untuk menunjukkan bahwa jasa yang ditawarkan berkualitas tinggi.

Hotel juga dapat melakukan hal serupa. Melalui kemewahan lobinya dan desain interiornya, hotel berusaha untuk memberikan isyarat kepada calon pelanggan bahwa jasa yang mereka tawarkan mempunyai kualitas yang bagus.

Suatu bengkel mobil yang mempunyai peralatan modern akan lebih dapat meyakinkan calon pelanggannya bahwa mereka mempunyai kualitas jasa yang bagus.

Kedua cara meng-konkritkan jasa ini dapat dikombinasikan. Tentunya, hal ini harus dilakukan dengan hati-hati. Kedua cara ini memang sangat berguna untuk membantu prospek dalam memilih suatu jasa. Setelah prospek membeli atau menggunakan jasa tersebut, maka dia akan mempunyai pengalaman yang dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan evaluasi. Dengan demikian, konsumen dapat mencocokkan pengalaman yang didapatkan dengan janji-janji yang diberikan oleh perusahaan selama ini.

Bermain dengan isyarat, akan sangat membantu untuk menarik prospek. Tetapi setelah mereka menjadi pelanggan, maka pengalaman menggunakan jasa akan lebih menjadi faktor penting menilai bahwa jasa yang ditawarkan perusahaan tersebut memang bagus atau tidak. Jadi, kedua cara tersebut dapat dimaksimalkan untuk mengakuisisi pelanggan baru, dan pada sisi lain, kualitas pelayanan tetap menjadi prioritas untuk meretensi pelanggan yang sudah ada.

Selain bersifat intangible, jasa pun tidak dapat di simpan dalam sistem stok. Jasa diproduksi bersamaan saat penjualan. Oleh karena itu, jasa lebih sering menjadi tidak konsisten. Berbeda dengan produk yang dapat distaandirisasi.

Maka SOP (Standard Operating Procedure) menjadi keharusan bagi perusahaan yang menawarkan jasa.

Salam,
Sukardi Arifin

Read more...

Monday, May 18, 2009

Service Recovery

Pelanggan kecewa? Biasa saja.
Pelanggan kecewa lalu melakukan komplain? Itu adalah berkah bagi perusahaan. Berapa banyak perusahaan yang mati karena tidak diberi kesempatan mengobati kekecewaan pelanggannya.

Sehubungan dengan pelanggan yang kecewa lalu kemudian melakukan komplain, ada 2 hal besar yang perlu dilakukan oleh perusahaan. Pertama adalah "doing right at the first time" sehingga tidak terjadi komplain atau melakukan strategi "service recovery" sehingga jika ada pelanggan yang komplain karena tidak mendapatkan pelayanan atau produk sesuai dengan yang dijanjikan, masih tetap ada peluang untuk memuaskan mereka.

Kedua Alternatif strategi di atas memiliki peluang untuk dapat memuaskan pelanggan. Dan perlu diketahui pula bahwa kedua strategi tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Strategi Pertama "doing right at the first time"
Untuk dapat menjamin semua bisa dilakukan dengan tepat dan benar saat pertama kali, perusahaan perlu membuat SOP (Standard Operating Procedure) yang detail atau dapat dikatakan sangat lengkap dan diperlukan pengawasan yang ketat agar SOP benar-benar dijalankan.

Pengalaman saya melakukan berbagai penelitian, hanya sekitar 55% pelanggan yang merasa tidak puas dengan pelayanan yang didapatkan, melakukan KOMPLAIN. (Komplain yang dimaksud disini adalah pelanggan mengadukan ketidak-puasannya kepada perusahaan melalui cara yang benar - BUKAN menceritakan ketidakpuasannya kepada pelanggan lain ataupun kepada media massa). Sekitar tahun 1995-2000, jumlah pelanggan yang melakukan Komplain kurang dari 20%. Seiring dengan kebebasan berpendapat jumlah pelanggan yang komplain akan terus bertambah.

Jika 55% pelanggan melakukan komplain, berarti ada sebanyak 45% pelanggan yang tidak memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk melakukan perbaikan dan langsung berpaling kepada kompetitor.

Untuk beberapa jenis industri, pilihan "doing right at the first time" bisa menjadi sangat mahal. Industri telekomunikasi misalnya, diperlukan teknologi yang handal dan investasi untuk infrastruktur yang sangat besar agar dapat melakukan pelayanan yang right at the first time. Sehingga tidak heran jika hampir semua perusahaan telekomunikasi memberikan fasilitas untuk memudahkan para pelanggannya yang tidak puas untuk melakukan komplain, bahkan melalui jalur telepon bebas pulsa 0-800 dll.

Strategi Kedua "service recovery"
Strategi kedua ini relatif lebih aman, dan banyak dipilih oleh perusahaan. Selain lebih murah, ternyata strategi ini mampu menaikkan tingkat kepuasan pelanggan. Banyak hasil penelitian yang membuktikan bahwa pelanggan yang komplain kemudian mendapatkan tanggapan yang sesuai dan masalahnya dapat diselesaikan, indeks tingkat kepuasannya tertinggi, bahkan melebihi tingkat kepuasan pelanggan yang mendaptkan pelayanan yang right at the first time.

Sebagai ilustrasi, jika ada seorang pria yang tidak pernah berbuat salah. Setiap malam minggu hadir untuk "apel", kalau berjanji selalu ditepati bahkan tidak pernah telat semenit pun. Tentusaja pasangannya memiliki tingkat kepuasan yang tinggi. Jika pria tadi tiba-tiba terlambat, dan tidak memiliki cara yang tepat untuk meminta maaf, maka bisa dibayangkan seberapa besar penurunan tingkat kepuasan pasangannya.

Bandingkan jika pria yang terlambat tadi memiliki strategi yang tepat dalam service recovery. Begitu terlambat, datangnya bawa bunga plus kue tart plus karcis nonton film kesukaannya. Kira-kira berapa tingkat kepuasan sang cewek ? Apakah sama dengan sebelumnya atau lebih tinggi ?

Yang harus dijadikan perhatian, bahwa diperlukan kesiapan perusahaan untuk membiarkan pelanggan melakukan komplain. Perusahaan sebaiknya membentuk "task force" yang bertugas menjawab dan menyelesaikan keluhan pelanggan. Jadi tidak bisa hanya dengan membuat kotak yang bertuliskan "complaint box" atau silahkan menghubungi nomor 021-XXXXX tapi tidak mempersiapkan bagaimana cara mengatasi masalah pelanggan. Pelanggan hanya di pimpong dari resepsionis ke tekhnisi atau dari customer service ke bagian lain tapi tidak satupun yang mampu menyelesaikan masalah.

Disamping itu, patut dipastikan bahwa line telepon yang diberikan cukup (sesuai dengan jumlah pelanggan). Memberikan 2 line untuk menerima komplain pelanggan sebanyak 50 per hari, boro-boro mengharapkan pelanggan menjadi lebih puas, bisa-bisa tambah jengkel karena nelpon dari pagi sampai sore hanya mendengarkan nada sibuk. Demikian pula jika memberikan fasilitas untuk pelanggan yang akan melakukan komplain melalui kantor cabang, semestinya tersedia orang yang cukup, jangan menjadikan pelayan sekaligus penerima komplain. Nanti malah stress, harus melayani yang mana terlebih dahulu.

Akhirnya, strategi service recovery-pun perlu dipersiapkan, difasilitasi dan diawasi dengan konsisten.

Salam
Sukardi Arifin

Read more...

Wednesday, May 13, 2009

Perjalanan Semarang-Blora

Perjalanan dari Kodya Semarang ke Kabupaten Blora kali ini seharusnya merupakan perjalanan biasa. Sama seperti perjalanan dari Madiun-Magetan-Ngawi-Sragen-Solo, atau perjalanan dari Balikpapan ke Samarinda yang saya lakukan minggu lalu. Namun, ada hal yang membuat tangan ini “gatal” untuk mengisahkan perjalanan tersebut dan membagikan kepada orang lain.

Mengapa perjalanan dari Semarang ke Blora ini menjadi berbeda dibandingkan dengan perjalanan lainnya? Ceritanya begini ……: Setelah melewati Kabupaten Demak, perjalanan selanjutnya melintasi Kabupaten Grobogan (nama ibukotanya Purwodadi). Saya bersama rekan melintasi jalan tersebut sekitar pukul 23.30 malam hari. Jalanan lumayan sepi, hanya ada satu dua kendaraan yang melintas. Bisa jadi, kurangnya kendaraan yang melintasi jalan ini karena memang sudah larut, atau mungkin karena jalan di kota ini “luar biasa” berlubang, bergelombang dan tidak terurus. Dalam hati saya berkata “kalau jalan di Demak bisa baik, kenapa di Purwodadi tidak bisa yaaa..?”

Rasanya “mangkel” luar biasa jika harus melewati jalan yang rusak. Bergelombang, berlubang, tak henti-hentinya. Saya bukannya orang yang tidak pernah melewati jalan rusak selama di Jakarta atau di kota lainnya. Tapi jalanan di Grobogan ini benar-benar luar biasa. Mungkin bisa diberikan piagam dari MURI atau Guinness Record, karena memecahkan jalan rusak terpanjang sekaligus jalan rusak terlama yang dibiarkan begitu saja, tanpa ada tanda-tanda perbaikan.

Parahnya, rasa mangkel yang memuncak tadi, makin disempurnakan oleh banyaknya remaja dari wilayah tersebut yang memanfaatkan keadaan jalan yang rusak tadi. Sedikitnya kami dihentikan sebanyak 12 kali oleh para remaja tadi untuk mengisi kaleng “sumbangan” dengan alasan biaya perbaikan jalan. “wah… baru tahu kalau biaya perbaikan jalan tidak diambil dari APBD tapi dari sumbangan para pengguna jalan, disamping itu pemungutnya pun bisa dilakukan oleh siapa saja….” ucapku pada rekan yang masih ngedumel sambil menyetir.

Awalnya saya fikir hal ini hanya terjadi di Grobogan. Tapi ternyata di Blora pun tidak jauh berbeda, hanya saja jumlah titik dimana kami harus berhenti mengisi kaleng “sumbangan” hanya sebanyak 4 kali.

Celakanya, ketika saya harus meninggalkan Blora menuju Purbalingga, kejadian yang sama pun terjadi di kota ini.

Saya melihat kegiatan ini menjadi tren. Kemana para petugas yang seharusnya bertugas ? Membiarkan preman ataupun karang taruna ataupun organisasi remaja lainnya melakukan tugas ini tentu saja dapat merusak citra sebuah daerah. Apalagi jika mereka memasang muka marah jika anda tidak membuka kaca. Bahkan pada beberapa titik, mereka tidak akan memberi jalan jika anda tidak mengisi kaleng.

Rasanya….perlahan tapi pasti. Para pemimpin di daerah membiarkan bibit-bibit premanisme bertumbuh. Dan yang pasti para sopir truk/bus harus merogoh kocek lebih dalam untuk dapat melintasi setiap daerah.

Mungkinkah hal ini bisa di berantas atau malah semakin menyebar di setiap kota…??

Salam
Sukardi Arifin

Read more...

Tuesday, May 5, 2009

Apa itu ServQual ?

ServQual

Service Quality lebih lazim disingkat ServQual dengan huruf S dan Q kapital. Kata ini berawal pada tahun 1983 ketika tiga sekawan yang terdiri dari Valerie A. Zeithamal, Leonard L. Berry dan A Parasuraman melakukan penelitian mengenai bagaimana memaksimalkan kualitas dari setiap pelayanan. Parasuraman mengambil posisi leader pada penelitian ini, sehingga tak heran sebagian orang menyebut ServQual dengan sebutan lain yaitu Parasuraman Theory.

Marketing Science Institute (MSI) menjadi sponsor penelitian besar ini. MSI harus bersabar selama 7 tahun untuk bisa mendapatkan hasil final. Setidaknya ada Phase tahapan dalam melakukan penelitian ini. Phase I dilakukan Qualitative Study terhadap CEO dan para Executive dari perusahaan-perusahaan jasa dan kepada Pelanggan-pelanggan mereka. Kemudian dilanjutkan Phase II dengan melakukan Study Emphiris yang sangat panjang dan dalam skala yang sangat besar. Phase ini terfokus pada sisi ”pelanggan” dengan mengembangkan berbagai Service Quality Model. Dari Phase ini mereka berhasil mengembangkan Metode yang bertujuan untuk mengukur service quality yang selanjutnya disebuat ServQual.

Berbeda dengan Phase II, pada Phase III penelitian lebih difokuskan kepada Perusahaan-perusahaan penyedia Servis. Sedikitnya 89 perusahaan besar di dunia yang dilibatkan dalam penilitian mereka. Kategori jasa yang dilibatkan dalam survei ini terdiri dari Kartu Kredit, Asuransi, Telekomunikasi, Selular, Perbankan, Sekuritas, Jasa Perbaikan (Appliance Repair), Otomotif, Hotel, Rental dan Penyewaan Kantor. Hampir semua kegiatan penelitian seperti FGD (Focus Group Discussion), In Depth, Customer Surveys, Employee Surveys, Executive Interviews, Front Line Surveys, Manager Surveys dilakukan dalam kegiatan ini.

Phase IV mereka menentukan metode pengukuran ”Gap Analysis” terhadap Customer Expectation dengan Top Management Expectation dan dengan Service Delivery. Penggabungan analisa hasil dapat dilakukan dengan mudah sebab jumlah FGD (Focus Group Discussion) yang dilakukan sangat banyak (melebihi 100 group)
.
Awalnya, ditemukan 10 dimensi dasar yang mempengaruhi kepuasan pelanggan. Kesepuluh dimensi tersebut adalah :
1. Tangibles
2. Reliability
3. Responsiveness
4. Competence
5. Courtesy
6. Credibility
7. Security
8. Access
9. Communication
10. Understanding the Customer.

Setelah dilakukan Correspondence Analysis terhadap ke sepuluh atribut tersebut, maka oleh komputer terjadi penggabungan beberapa Atribut akibat kesamaan karakter. Akhirnya, dalam analysis tersebut terbentuk 5 dimensi baru seperti yang telah banyak dikenal saat ini. Kelima dimensi tersebut sering juga disingkat TARRE, agar dapat lebih mudah mengingatnya.
1. Tangibles
2. Assurance (Competence, Courtesy, Credibility, Security),
3. Reliability
4. Responsiveness
5. Empathy (Access, Communication dan Understanding the Customer)

Kepuasan pelanggan ditentukan oleh 5 dimensi tersebut. Yang pertama adalah dimensi Tangible (Fisik). Pelanggan akan puas jika penampilan gedung perusahaan baik, karyawan menggunakan seragam yang rapih agar ada perbedaan antara pelanggan dengan karyawan sehingga memudahkan pelanggan mengenali dan dapat meminta pelayanan dengan cepat. Selain seragam dan gedung, tempat parkir, ruang tunggu, toilet, penunjuk arah, brosur dan berbagai bentuk tanjibel lainnya masuk dalam dimensi ini.

Dimensi kedua adalah Assurance (Keyakinan), dimensi ini ditunjukkan oleh kemampuan karyawan memberikan keyakinan kepada pelanggan dalam melakukan transaksi dengan perusahaan. Keyakinan ini karena karyawan mampu menjawab kebutuhan dan pertanyaan klien, karena perusahaan memiliki Standard Operation Procedural (SOP) yang rapih, karena perusahaan memiliki teknologi yang handal, dan perusahaan serta karyawan memiliki produk dan servis yang konsisten.

Dimensi ketiga adalah Reliability (Keandalan), dimensi ini ditunjukkan oleh kemampuan karyawan dan perusahaan memenuhi semua janji-janjinya, baik yang dijanjikan melalui iklan maupun janji-janji yang diucapkan oleh frontliner dan lainnya. Kemudian, dimensi ini juga ditunjukkan juga oleh kemampuan perusahaan memberikan produk dan pelayanan yang benar pertama kali (Performing services right at the first time and providing services at the promised time also Maintaining error – free records).

Dimensi keempat adalah Responsiveness (Responsif), dimensi ini ditunjukkan oleh kemampuan karyawan dan perusahaan dalam memberikan informasi mengenai hak-hak yang seharusnya diberikan kepada pelanggan. Sigap dalam memenuhi kebutuhan pelanggan serta memiliki keinginan untuk terus membantu pelanggan. (Keeping customers informed about when services will be performed, Prompt service to customers, Willingness to help customers, Readiness to respond to customers’ requests)

Dimensi kelima atau dimensi terakhir adalah Empathy (Empati), dimensi ini ditunjukkan oleh kemampuan karyawan dan perusahaan dalam memberikan perhatian khusus kepada pelanggan. Contoh yang paling sering digunakan dalam dimensi ini adalah kemampuan karyawan mengingat nama dan kebiasaan pelanggan. Misalnya, seorang pelanggan hotel yang datang lalu disapa dengan menyebutkan namanya, kemudian diberikan kamar non smoking karena memang pelanggan tersebut tidak merokok, tanpa pelanggan tersebut menyebutkan keinginannya terlebih dahulu. (Giving customers individual attention, Employees who deal with customers in a caring fashion Having the customer’ s best interest at heart, Employees who understand the needs of their customers, Convenient business hours)

Disamping kelima dimensi tersebut, di dalam ServQual juga dijelaskan mengenai gap-gap yang sering terjadi dalam perusahaan. Gap tersebut antara lain :

Gap 1 : Adanya perbedaan (gap) antara “harapan pelanggan” dengan “persepsi manajemen terhadap harapan pelanggan”

Gap 2 : Adanya perbedaan (gap) antara “persepsi manajemen terhadap harapan pelanggan” dengan “spesifikasi pelayanan/ produk yang akan diberikan”

Gap 3 : Adanya perbedaan (gap) antara “spesifikasi pelayanan/ produk yang akan diberikan” dengan “pelayanan/ produk yang diberikan”

Gap 4 : Adanya perbedaan (gap) antara “pelayanan/ produk yang diberikan” dengan “komunikasi eksternal yang didapatkan pelanggan”

Gap 5 : Adanya perbedaan (gap) antara “spesifikasi pelayanan/ produk yang akan diberikan” dengan “persepsi manajemen terhadap harapan pelanggan”

Masih banyak lagi hal-hal yang berkaitan dengan ServQual. Selanjutnya akan kita bahas lebih detail misalnya bagaimana melakukan penelitian ServQual, bagaimana memanfaatkan ServQual serta apakah ServQual memiliki kelemahan ???

Salam
Sukardi Arifin

Read more...

Tuesday, April 28, 2009

Word Of Mouth (WOM)

Word of Mouth atau biasa disingkat WOM, terkadang sering juga diartikan dengan sebutan “Marketing Lewat Mulut” (MLM-bukan Mulit Level yaaa….) dan dalam bahasa jawa disebut “Gethok Tular”. Mengapa banyak perusahaan tertarik dengan metode ini ?

Selain memang cukup efektif, namun menurut hemat saya, sebagian besar karena metode ini GRATIS, bukankah yang gratis selalu banyak peminatnya ?

Coba bandingkan dengan biaya komunikasi kepada konsumen yang harus dikeluarkan jika memilih menggunakan media lain seperti TV, Koran atau Billboard ?

Memperkenalkan produk atau Jasa dengan cara WOM, seyogyanya lebih pantas untuk produk/jasa yang sudah lama launching. Karena untuk produk baru, rata-rata belum memiliki base pelanggan, sehingga akan sangat lama untuk menjadi besar jika hanya mengandalkan metode ini.

Dari banyak penelitian yang saya jalankan melalui SurveyOne, orang Indonesia akan menceritakan kepada sedikitnya 3 orang untuk hal-hal yang membuatnya senang atau puas. Namun, sebaliknya dia akan menceritakan kepada sedikitnya 15 orang untuk hal-hal yang membuatnya kecewa dan kepada sebanyak-banyaknya orang untuk hal-hal yang menjengkelkannya. ….!!!

Saya bahkan penah mengomentari WOM dimilis MC-ers@yahoogroups.com dengan tulisan : “WOM laksana bola salju, jika terus menggelinding maka semakin hari akan semakin besar bolanya dan semakin banyak orang yang bisa melihatnya. Namun jika bola tersebut berhenti menggelinding karena tersangkut dipohon atau dibebatuan, maka siapa yang akan mendorongnya agar dapat terus menggelinding“.

Menggunakan Metode WOM memiliki keuntungan dan Kerugian.

Kerugiannya :
1. Informasi tidak bisa dikontrol. Sehingga bisa saja hal Biasa menjadi Buruk atau bahkan menjadi “Luar Biasa” tergantung si pembawa berita.
2. Tidak ada target waktu mencapai tujuan WOM. Tidak bisa ditentukan jumlah pelanggan baru sebesar …% dengan metode ini.
3. Mudah ditiru oleh kompetitor
4. Terkadang merek kita yang dibicarakan tetapi merek kompetitor yang “panen”. Misalnya manfaat refleksi atau manfaat minum buah mengkudu, belum tentu produk yang dibeli adalah merek kita, bisa jadi yang dibeli adalah merek kompetitor yang berlokasi lebih dekat dengan calon pelanggan.
5. Tidak cocok untuk produk atau jasa yang baru diluncurkan
6. Produk/jasa harus benar-benar prima atau yang terbaik, karena jarang atau hampir tidak ada orang yang merekomendasikan produk yang biasa saja.
7. dll

Keuntungannya :
1. Murah bahkan Gratis
2. Saat ini dapat menyebar dengan cepat dengan menggunakan VIRAL MARKETING
3. Lebih mudah meyakinkan calon konsumen karena informasi bersumber dari orang yang dikenal
4. Tingkat loyalitasnya lebih tinggi
5. Lebih cepat menimbulkan pembelian dibanding dengan metode komunikasi lainnya.
6. dll

Terakhir, menurut saya metode WOM lebih cocok dan lebih banyak digunakan untuk bidang JASA dibandingkan untuk bidang PRODUK.

Coba ingat-ingat : apakah Rumah Sakit, Dokter, Taksi, Restaurant atau Hotel atau yang kita gunakan selama ini karena iklannya diberbagai media atau karena Bisikan atau mungkin rekomendasi dari seseorang ?

Salam
Sukardi Arifin

Read more...

Brand Awareness

Sudah sering kita dengar bahwa konsep pangsa pasar (market share) adalah fungsi dari 4 komponen besar yaitu awareness, product attractiveness, no price barrier dan availability. Keempat komponen inilah yang menjadi dasar bahwa suatu produk akan terbeli dan kemudian memperoleh pangsa pasarnya.

Brand Awareness merupakan jargon yang banyak disebutkan pada meeting-meeting marketing yang membahas tentang penjualan maupun promosi. Brand Awareness sendiri berarti tingkat pengetahuan seseorang terhadap sebuah merek. "Brand awareness is the ability of a potential buyer to recognize or recall that a brand is a member of a certain product category" (David A. Aaker 1991)

Pada dasarnya, Awareness terdiri dari dua bagian. Yang pertama adalah Unaided Awareness (UA) dan Aided Awareness (AA).
Sebagai contoh: seseorang dijadikan responden dalam penelitian mengenai pengetahuannya terhadap merek-merek HANDPHONE. Kemudian respon dari sample tersebut memberikan jawaban merek : Nokia, Sony Ericsson, Samsung, LG, dan Motorolla. Selanjutnya peneliti akan menambahkan pertanyaan-pertanyaan untuk memperdalam pengetahuan responden. Pertanyaan selanjutnya mengenai: apakah anda pernah mendengar merek-merek lainnya seperti : Siemens, Vertu, Hitech, Vodafone dan Vitell? Kemungkinan jawaban yang diberikan adalah tahu atau tidak tahu.

Unaided Awareness (UA)
Unaided Awareness sendiri dibagi menjadi dua bagian, yaitu TOP OF MIND awareness dan Other Unaided awareness. Pada contoh merek-merek yang disebutkan di atas, maka merek NOKIA disebut sebagai Top of Mind (TOM). Merek Nokia disebutkan sebagai TOM karena merek tersebut yang disebutkan pertama kali. Kemudian merek Sony Ericsson, Samsung, LG, dan Motorolla masuk dalam kelompok Other Unaided awareness. Dalam beberapa penelitian yang pernah saya lakukan, rata-rata konsumen Indonesia mampu menyebutkan 4-7 merek dari setiap kategori produk. Kemampuan ini pun sangat tergantung dengan banyaknya merek yang berkompetisi dalam satu kategori produk serta frekuensi (tingkat keseringan) responden berhubungan dengan produk-produk tersebut. Merek-merek mobil, produk-produk lifestyle dan elektronik rata-rata mampu disebutkan lebih dari 6 merek. Sementara untuk beberapa produk kategori, seperti merek OBAT MAAG, SIKAT GIGI dan Body Lotion, dan beberapa merek lainnya, responden hanya mampu menyebutkan sekitar 2-3 merek saja

Aided Awareness (AA)
Aided Awareness adalah merek yang sebenarnya diketahui oleh konsumen. Bahkan merek tersebut mungkin pernah digunakannya. Namun, kuatnya komunikasi yang dilakukan oleh merek-merek utama, maka beberapa merek semakin lama, semakin tergeser ke dalam benak yang paling bawah, Bottom of Mind kebalikan dari Top of Mind. Oleh karena itu, untuk mengetahui apakah merek tertentu berada pada posisi bawah atau benar-benar tidak diketahui oleh konsumen, perlu dilakukan pertanyaan bantu (Aided Question). Pada contoh di atas, merek Siemens, Vertu, Vodafone, Hitech dan Vitell masuk dalam kelompok ini Merek-merek yang masuk kategori Aided Awareness sendiri masih memiliki peluang untuk menjadi Top of Mind, hal ini sangat tergantung pada kreativitas dan frekuensi pemilik merek dalam melakukan komunikasi (promosi).

Anda dapat menguji tingkat pengetahuan merek (Brand Awareness) Anda. Caranya anda dapat mengelompokkan merek-merek Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang masuk dalam kelompok Unaided Awareness , mana yang masuk dalam kelompok Aided Awareness serta merek mana yang sama sekali tidak anda ketahui berikut ini : Ades, 2 Tang, Aqua, Purell, Cleo, Equil, Evian, Oasis, Purence, Sosro, Total, VIT, Club, Aria.

Seberapa Penting Membangun Brand Awareness ?
Ada beberapa kategori produk, dimana Brand Awareness menjadi hal yang sangat vital. Artinya, konsumen tidak akan membeli sebuah produk dengan merek yang sama sekali tidak pernah didengarnya. Oleh karena itu, Aaker, memasukkan Brand Awareness sebagai salah satu dimensi penting sebagai pembangun Brand Equity.

Kategori pertama adalah, produk dengan harga jual yang relatif tinggi. Misalnya. Mobil atau Rumah. Sangat jarang ditemukan seorang konsumen akan membeli mobil tanpa memperhatikan mereknya. Demikian juga pembelian sebuah rumah dikawasan real estat tanpa perduli siapa pengembangnya.

Kategori kedua adalah, produk dengan latar belakang pembelian karena faktor emosional. Dalam hal ini, konsumen akan membeli produk-produk yang banyak diketahui oleh orang lain. Seperti produk-produk lifestyle dan sebagainya.

Namun, tidak semua produk memerlukan Brand Awarenss yang tinggi untuk dapat dijadikan pilihan konsumen. Produk-produk yang masuk kategori komoditi termasuk dalam kelompok ini. Misalnya produk beras, produk garam, dan produk komoditi lainnya. Bahkan pada produk sepeda pun konsumen relatif tidak memperhatikan mereknya.

Bagaimana Membangun Brand Awareness ?
Jika telah diketahui tingkat kepentingan dalam membangun merek. Maka, diperlukan berbagai strategy untuk dapat membangun merek secara efektif dan efisien. Membangun merek tidak selalu harus dengan kegiatan promosi besar-besaran. Banyak merek yang terbangun bahkan dengan biaya yang sangat minim. Namun, dalam membangun merek, faktor efisiensi biaya saja tidak cukup, karena efektivitas terhadap waktu yang diperlukan pun memiliki posisi yang sangat penting. Mengapa ? Karena, banyak perusahaan yang hanya berfokus pada efisiensi biaya saja. Sementara disisi lain, momentum untuk memasuki benak konsumen pun perlu segera dilakukan, sebelum kesempatan tersebut di ambil oleh merek lain.


Salam
Sukardi Arifin

Read more...

Bacaan Penting bagi Orang Penting

About This Blog

  © Blogger template The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP