Tuesday, September 29, 2009

Perusahaan Besar Pun Melanggar.






















Teman saya, tugas di Beijing–China selama kurang lebih 6 tahun. Mudik ke Indonesia, lebaran 1430H lalu. Sebagai teman yang lama tidak berjumpa, kami menghabiskan waktu setengah hari untuk ngobrol-ngobrol. Dia menceritakan bagaimana keadaan di China sana. Bagaimana China berubah menjadi negara yang disegani hanya dalam waktu kurang dari 10 tahun. Dari banyak hal yang dia ceritakan, ada 2 hal yang cukup menarik. Pertama, ternyata kediktatoran dan ketegasan Mo Tse Tung mampu merubah kebiasan orang China menjadi produktif dan disiplin. Kedua, China bersih dari Bilboard, sticker, poster apalagi spanduk liar. Bahkan spanduk dari partai komunis yang berkuasa di negara itu, tidak ada. “Beda deh sama disini…” katanya.

Memang benar. Pertama, kita butuh pemimpin yang diktator. Masyarakat kita sudah terlalu bebas melakukan pelanggaran. Mereka sudah sama sekali tidak memiliki rasa takut. Kedua, kota kita memang sangat kotor. Sungguh luar biasa. Sejauh mata memandang, akan kita temukan, spanduk, sticker dan poster liar. Di jalan protokol, di kompleks perumahan bahkan di tiang-tiang listrik di areal persawahan. Parah. Sangat parah, sehingga benar-benar merusak pemandangan. Menjadi pemandangan sehari-hari, melihat poster yang sudah usang, spanduk yang sudah tercabik sebagian. Bahkan bendera partai tersisa ¼ bagian yang masih terikat di tiang bambu yang mulai lapuk. Keterlaluan.

Biasanya, setiap bulan ada petugas dari kecamatan yang berkeliling membersihkan. Tapi itukan bukan tugas mereka. Mereka tidak digaji sebagai petugas kebersihan bukan?

Bayangkan, setiap orang merasa bebas berbuat apa saja. Semua tiang listrik, dianggap sebagai tiang untuk memasang poster maupun sticker. Semua tiang listrik dan batang pohon dianggap sebagai tempat untuk mengikat spanduk. Tidak hanya itu, tembok dan pagar orang pun ditempeli. Luar Biasa. Harusnya bisa dimasukkan ke Guinness Book of Record.

Saya kira ini hanya terjadi di Jakarta, Surabaya, Jogjakarta atau kota besar lainnya. Ternyata kota kedua seperti Medan, Solo, Samarinda, Bekasi dan Palembang pun sama saja. Termasuk kota-kota lainnya. Mungkin sama-sama merasa orang Indonesia. “Kalau di Jakarta bisa bebas mengotori kota, kenapa disini tidak ?” mungkin begitu fikiran mereka. Khusus kota Jogjakarta, rasanya dapat disebut sebagai sorganya billboard dan spanduk. Semua perusahaan, toko dan warung makan bebas memasang spanduk dan papan toko. Gak percaya ? Coba deh perhatikan setiap sudut jalan, toko dan gedung di kota pelajar ini. Ruar biasa.

Yang lebih memprihatinkan, adalah perusahaan besar pun ikut-ikutan melanggar. Padahal mereka tahu regulasinya. Perhatikan gambar-gambar yang saya sertakan. Pertama, billboard CARREFOUR yang berada persis di tengah-tengah trotoar. Bukankah, billboard mestinya di luar areal fasilitas umum. Kalau ini mendapat ijin dari Pemda setempat, berarti Pemda-nya yang bermasalah. Lha wong, masa sih Pemda (dalam hal ini Jakarta Timur), tidak mengetahui persyaratan tempat mendirikan billboard ?

Kedua, Spanduk Real Estat Menteng Metropolitan. Ini Real Estat besar di ujung Jakarta Timur. Lagaknya mirip preman saja. Spanduk dipasang dipinggir jalan. Saya melihat, suatu pagi spanduknya sudah dicabut oleh petugas dari kecamatan. Esok harinya sudah terpasang lagi. Lebih seru lagi, hari pertama 1 spanduk dicabut, hari ketiga 5 spanduk terpasang di sepanjang jalan dari Bekasi menuju Terminal Pulo Gadung. Hebat khan ? Kira-kira kalau ada orang lain yang memasang spanduk di areal perumahannya, boleh Ga yaaaa ?

Kalau perusahaan besar saja tidak takut, apalah lagi perusahaan perorangan. Saya lampirkan, beberapa temuan saya mengenai poster dan sticker yang mengotori kota Jakarta. Polusi pemandangan. Lembaga pendidikan berperilaku layaknya tukang sedot WC atau para Badut. Menggelikan. Yang tidak kalah menggelikan, mereka yang melanggar dengan berani menuliskan nomor telepon mereka dengan huruf besar di dalam setiap spanduk maupun sticker yang ditempelkan. Orang melanggar yang pemberani. “Mumpung lagi reformasi, preman lebih punya nyali daripada aparat. Mari berbuat semaunya” mungkin begitu kurang lebih prinsip mereka.

Salam,
Sukardi Arifin

Read more...

Monday, September 28, 2009

Strategy place si tukang duplikat kunci

Duplikat kunci. Mungkin kita termasuk pelanggan rutin jenis bisnis ini. Ada saja alasan, sehingga kita terpaksa menggunakan jasanya. Kunci hilang, rusak atau karena jumlah orang yang harus memegang kunci menjadi lebih banyak dari yang telah disediakan oleh pabrikan. Penggunaan jasa duplikat kunci termasuk kategori plan buying. Berbeda dengan produk permen yang impulse buying. Plan buying artinya, penggunaan jasa atau pembelian produk, telah direncanakan. Dan relatif bisa ditunda.

Modal dan sarana kerja bisnis ini tergolong minim. Tidak memerlukan tempat yang luas. Bahkan dapat dilakukan secara mobile (bergerak).

Tukang duplikat kunci yang kerja diwilayah saya terbilang unik. Hanya mengunakan motor keliling. Tapi, keunikannya tidak sebatas pada sarananya, namun lebih pada bagaimana ia memaksimalkan unsur Place sebagai salah satu elemen penting dalam marketing mix.

Dari jam 8 pagi hingga jam 10 siang, dia mangkal di depan pintu keluar kompleks perumahan. Mangkal di bawah pohon. Selanjutnya jam 11 hingga jam 17 dia pindah ke depan sebuah mal di daerah Kranji-Bekasi. Selepas dari mal, dari jam 18 hingga jam 21 dia mangkal di depan Plaza yang cukup ramai. Semuanya rutin. Tujuh hari seminggu. Dari senin hingga minggu. Tidak ada hari libur.

Menarik. Karena bisnisnya termasuk dalam kategori plan buying, maka konsumen cenderung merencanakan sebelum melakukan pembelian. Cara yang digunakan sang tukang duplikat, sangat jitu. Tentusaja tidak dapat disamakan dengan apa yang dilakukan oleh tukang bakso keliling. Lantaran waktunya tidak konsisten. Dan probability konsumen terakhir kehabisan bakso, dapat terjadi. Disamping itu, konsumen cenderung menunggu sepanjang range waktu biasanya tukang bakso lewat. Konsumen tidak akan bersedia spending waktu lebih banyak untuk mendapatkan satu pelayanan atau produk.

Berada di depan kompleks perumahan pada jam-jam berangkat kerja, tentu saja tergolong efektif time. Tapi setelah jam itu, tempat tersebut menjadi tidak efektif lagi. Rata-rata mal baru buka jam 10, mulai ramai sekitar jam 11 dan lunch time, peluang bisnis pun cukup lebar. Selanjutnya Plaza di dalam areal perumahan kembali menggeliat setelah jam kerja usai. Maksimalisasi traffic, tentusaja menjadi salah satu variabel penting dalam Marketing. Bahkan perusahaan sebesar DETIK.COM pun, menjual traffic kepada para pengiklannya. Demikian juga dengan media lainnya.

Bayangkan jika tukang duplikat kunci ini hanya berada pada tempat yang sama sepanjang hari, sepanjang waktu? Berapa banyak klien yang bisa didapat dan berapa luas coverage bisnisnya?

Disisi lain, para konsumennya pun akan merasakan keberadaannya (Availability). Para penghuni kompleks perumahan selalu dapat menggunakan jasanya, pada jam-jam yang telah disediakan. Memang selalu ada potensi lost, pada saat dia harus meninggalkan lokasi. Tapi jika dibandingkan dengan potensi bisnis yang akan didapat, relatif lebih tinggi. Jika harus buka sekaligus pada 3 lokasi, analisa mengenai modal kerja, SDM dan efektivitas waktu perlu dilakukan secara lebih mendalam.

Dengan sedikit analisa terhadap keadaan lingkungan, sang tukang duplikat kunci dapat memaksimalkan revenuenya. Marketing tidak selalu mesti identik dengan survei besar. Fakta dan informasi yang ada “dijalanan”, selayaknya dimanfaatkan sebagai variabel-variabel dalam melakukan analisa. Analisa yang didasari banyak variabel fakta dan bukan hanya dengan estimasi, akan memberikan output strategi yang relatif lebih tajam.

Selamat mempelajari keadaan disekitar anda, jangan-jangan banyak peluang bisnis yang bisa dilakukan.

Salam
Sukardi Arifin

Read more...

Astana Giribangun, Makam pak Harto...!











Sudah belasan kali saya mengunjungi kota Solo – Jawa Tengah. Baik itu dalam rangka tugas, liburan, maupun saat menghadiri pernikahan seorang kawan. Tapi, selalu saja saya tidak sempat berkunjung ke Astana Giribangun, tempat mantan Presiden RI kedua, Bapak Soeharto dimakamkan. Padahal, sejak wafatnya pada tanggal 27 Januari 2008 lalu, saya berjanji akan berziarah ke makam beliau. Setiap akan berangkat ke Solo, saya memasukkan nama Astana Giribangun ke dalam list, sebagai salah satu tempat yang akan saya kunjungi. Karena alasan tidak cukup waktu, atau alasan mengejar flight, rencana itu gagal dan gagal lagi.

Sebagai orang Indonesia, saya sangat menghargai Pak Harto. Sama seperti penghargaan saya kepada Bapak Soekarno, Bapak SBY, Prof Habibie, Gus Dur, JK, Wiranto, Ibu Mega, Pak Prabowo dan para putra-putri terbaik bangsa lainnya. Semua memiliki kekurangan, tapi rasanya tidak pantas menghitung-hitung kekurangan mereka jika dibandingkan dengan cucuran keringat dan perasan fikiran yang telah disumbangkan kepada bangsa ini. Saya pernah ingin mencatat apa saja yang telah saya perbuat untuk kepentingan bangsa. Kertas catatan yang saya sediakan, sampai hari ini belum terisi satu kata pun. Payah, memang. Tapi lumayanlah, karena saya tidak termasuk kelompok orang yang TIDAK MENGHARGAI apa yang telah dilakukan oleh orang lain.

Minggu, 27 September 2009, saya menghadiri pernikahan seorang sahabat di Weru, Sukoharjo-Solo. Seperti biasa, rencana berkunjung ke Astana Giribangun mulai mengalami kendala. Mendarat di Solo dengan Extra Flight (khusus untuk libur lebaran) Garuda Indonesia jam 9. Perjalanan dari Bandara ke lokasi pernikahan ternyata cukup jauh. Tiba jam 12 lewat 10 menit. Acara resmi sudah selesai. Ngumpul dengan teman-teman, ngobrol sana-sini sekitar 3 jam. Jam 15.20 meninggalkan lokasi pesta, menuju ke Makam pria yang siang malam memikirkan bangsa selama 32 tahun. Perjalanan dari Sukoharjo ke Astana Giribangun yang terletak di kecamatan Matesih-Karanganyar, ternyata memakan waktu yang cukup panjang. Sepanjang jalan berkelok dan banyaknya tanjakan yang harus dilalui. Melewati lokasi persawahan. Catatan pertama yang ingin saya abadikan, sawah di Sukoharjo kering kerontang (gambar 1), sementara sawah di Karanganyar hijau berseri (Gambar 2). Apakah ini kutukan bagi Sukoharjo atau ujian bagi Karanganyar. Dua kota bersebelahan, tapi beda nasib.

Tiba dilokasi makam, pukul 17 lewat 25 menit. Beberapa kali salah arah. Kesasar. Maklum, kurangnya petunjuk arah yang jelas dan memadai. Kalau untuk hal yang satu ini, kita kompak secara nasional. Posisi makam, berada di puncak bukit. Sejuk. Hijau dan asri. Pemandangan sudah mulai gelap sebahagian (gambar 3 dan 4). Saya tidak men-jepret sunset, padahal melihat sunset dari lokasi ini sangat indah. Saya tidak rela, membagi keindahan itu dengan Anda (pembaca). Anda harus datang dan menyaksikannya sendiri. Sumpah, sunsetnya indah sekali. Sama seperti di Kute Bali, atau di Pantai Losari Makassar. Tapi ini dari atas bukit, bukan dari tepi pantai.

Tiba di lokasi makam sedikit terlambat, karena jadwal kunjungan ke makam dibuka dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore (gambar 5). Namun, kami mendapat dispensasi. Sahabat saya menjelaskan, kalau kami dari Jakarta dan sudah harus pulang esok hari, tidak pasti kapan bisa datang lagi. Tidak ada debat, tidak ada niat mempersulit, petugas makam memberi kami selembar pas masuk. Fleksibel. Mudah. Tidak kaku. Tidak seperti pelayanan yang biasa saya temukan di instansi atau tempat-tempat lain.
Masuk ke makam, sudah mulai gelap. Lampu-lampu sudah dinyalakan (gambar 6). Mengambil gambar bersama teman-teman. Mengambil gambar makam bapak pembangunan. Kalau tidak salah kutip, ada 5 batu nisan di dalam makam. Nisan ayah dan ibu beliau, nisan ibu Tien sang istri tercinta, satu lagi saya lupa nanya punya siapa.

Suara adzan maghrib sudah berkumandang. Kami harus menyudahi peziarahan. Waktu dispensasi sudah cukup. Kamipun meninggalkan makam menuju tempat parkir.

“Makam Astana Giribangun ini ramai dikunjungi orang, tapi koq tidak ada pengemis, atau orang yang meminta-minta yaa?” celoteh teman saya yang kelihatannya bingung. Bingung karena hal ini tidak biasanya. “Jangankan pengemis, semua pegawai disini sangat membantu. Ramah. Ringan tangan. Dan yang paling utama, mereka tidak memperlihatkan wajah atau sikap agar diberikan tip atau uang terima kasih”, tambah teman saya yang lainnya. Mereka sepertinya sudah cukup dengan gaji yang diberikan oleh pengelola, dan tidak berharap mendapatkan tambahan penghasilan dari cara meminta-minta secara terselubung.

“Ibu Tutut, mas Bambang dan mas Tommy khan cukup kaya. Tidak pantas jika ada peminta-minta atau pengemis di makam ayah dan ibu beliau” komentar teman saya yang lainnya lagi.

“Pak Harto dan Ibu Tien itu khan figur penting bangsa Indonesia, sama seperti tokoh bangsa yang lain, jadi tidak pantas kalau dilecehkan dengan membiarkan para pengemis berkeliaran disekitar makamnya. Dan sangat tidak bertanggung jawab, jika beban itu hanya kita bebankan kepada mbak Tutut, mas Tommy, Mas Bambang atau anak-anak para tokoh tersebut. Mereka itu bukan hanya milik anak-anaknya atau keluarganya. Tapi milik Bangsa. Memangnya kita tidak malu, dan tidak merasa memiliki bangsa ini…???” Ungkapku sambil menutup pintu Xenia putih yang mengantar kami.

Semoga Allah mengampuni dosa-dosa para pahlawan bangsa, dan menerima tetesan keringat serta perasan fikiran mereka…... AMIN

Salam,
Sukardi Arifin

Note :
Teman-teman dalam photo : Fory, Dewi, Siti, Amirul, Abidin, Ulin dan Pak Tukil.

Read more...

Wednesday, September 16, 2009

Tak ada akar, karton pun jadi.


Image sebuah bangsa dapat dilihat dari berbagai hal. Salah satunya adalah jenis kendaraan yang berkeliaran dijalan-jalan protokolnya. Kota Balikpapan, misalnya. Kota ini dianggap lebih maju dibanding ibukota propinsi Kalimantan Timur, Samarinda. “Lihat saja jenis mobil yang ada….” ungkap seorang pengusaha dari Kaltim. Walaupun sebenarnya masih banyak alat ukur lain yang bisa digunakan.

Jakarta sebagai cerminan Indonesia, seharusnya melirik kembali perda yang mengatur tentang hal ini. Kelayakan kendaraan seharusnya dijadikan perhatian utama. Bukan usia kendaraanya. Kendaraan tua yang dirawat, rasanya lebih punya hak beredar, daripada kendaraan baru yang tak terawat.

Saat melintas di Jl. Casablanca siang tadi (16 Sept 09), saya melihat angkot yang cukup unik. Untuk menghindari terik matahari, kacanya ditutupi kardus indomie sekenanya. Sangat merusak pemandangan, apa ya kesan turis yang menyaksikan hal ini. Seperti biasa, secara otomatis tangan mengambil kamera dan mengabadikannya. Jangan-jangan hal ini hanya terjadi di Negaraku tercinta ini. Lumayan, bisa dapat fhoto pra sejarah. Hiks..!@

Bicara soal angkutan umum, terkenang sekitar 7 tahun lalu. Naik angkutan umum dari Gambir ke Pulo Gadung. Saat itu hujan lebat, kaca angkutan banyak yang sudah tidak ada. Hujan bebas masuk menyirami penumpang yang penuh sesak. Cipratan air tidak hanya dari kaca yang bolong, air plus lumpur juga bisa masuk melalui lantai bus yang sudah keropos. Ditambah lagi abang sopir harus sering mengerem mendadak karena “tiba-tiba” ada trotoar atau mobil di depan bus karna wiper yang tidak berfungsi. Perjuangan kondektur membersihkan kaca depan tidak cukup untuk melawan derasnya hujan. Kalau sampai terjadi kecelakaan, sudah terbayang headline di koran Lampu Merah. BUS REOT MEMBAWA MAUT.

Kondisi bus sejak 7 tahun lalu, ternyata masih bisa ditemukan dengan mudah saat ini. Saya kurang yakin hal ini dijadikan perhatian oleh ORGANDA atau DISHUB. Pasalnya, setiap tahun semua kendaraan umum harus melalui uji kelayakan. Kalau tidak layak, ya tidak dapat ijin trayek. Kalau masih bisa berkeliaran, artinya lulus uji kelayakan dong. Koq begitu bisa lulus yaaa….? Rasanya uji kelayakan harus menyertakan kendaraan yang harus diuji, dan bukan hanya setumpuk berkas dan sebuah amplop putih khan ?

Jika tidak ada aturan mengenai kelayakan kendaraan yang melewati jalan-jalan protokol, maka tidak heran kalau point penyebab kemacetan bisa bertambah satu lagi, karena kendaraan mogok di tengah jalan.

Saya bermimpi dan berharap, suatu hari bapak Presiden mengucapkan satu statement mengenai angkutan dalam sebuah jumpa pers. “Kalau saya ketemu ada truk/bus yang tidak layak beredar dijalan raya. Saya akan minta dephub agar memecat kepala dinas yang mengurusi hal itu…..” begitu kira-kira statementnya.

Hal ini pernah dibuktikan oleh Kapolri, yang menyatakan memerangi CALO pembuatan SIM. Yang dilaksanakan dengan baik oleh para Kapolres. Walaupun saat ini masih bisa ditemukan satu-dua CALO, tapi jumlahnya sudah sangat berkurang. Itupun dengan sembunyi-sembunyi. Kalau Kapolri BISA…khan pak Presiden LANJUTKAN…hehehe….ga nyambung !!!

Salam
Sukardi Arifin

Read more...

Monday, September 14, 2009

Petunjuk Jalan



Melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri, Sendirian? Kendala yang terbayang dari sebagian orang yang belum pernah melakukan perjalanan keluar negeri, adalah tersesat. Alasan ini didasarkan pada kondisi di Negara kita, dan menganggap akan sama dengan yang ada diluar sana.

Teman saya dari Bandung, biasanya menggunakan bis atau kereta untuk menuju Jakarta. Selanjutnya, ketempat manapun menggunakan jasa taksi. Kali ini, untuk pertama kalinya dia ke Jakarta dengan menyetir sendiri, dengan tujuan Mal Blok M. Sudah saya ingatkan agar banyak bertanya, dan jangan sok tau. “Jalan-jalan di Bandung memang lebih sulit dengan banyaknya jalur satu arah, tapi jalan di Jakarta sangat panjang dan jumlahnya sangat banyak, sekali kesasar bisa bablas ke Tangerang atau malah ke Cikarang”, begitu kurang lebih pesan saya sebelum dia memulai kenekatannya. Tapi, dia ingin mencoba keberuntungannya. Dia ingin mencoba tidak bertanya sama sekali, dan hanya bergantung pada petunjuk jalan yang ada. Nekat
bin Konyol !!!

Di Jalan-jalan seluruh Indonesia, kita harus banyak bertanya. Karena petunjuk arah yang diinginkan sangat sulit ditemui, bahkan setelah ditemui pun sangat sulit diikuti. Saya dan rekan yang sudah berulangkali ke Mal Blok M, masih saja bingung harus berputar dimana. Kalau sampai salah, terpaksa harus berurusan dengan pak Polisi.

Kembali ke Teman saya yang nekat tadi. Masuk Pintu tol Pasteur Bandung jam 10 lewat 12 menit dan baru berhasil sampai di Mal Blok M jam 9 lewat 43 menit di malam hari. Dia tidak bertanya sama sekali. Bahkan saat ditangkap polisi sebanyak 3 kali karena salah jalan, dia tidak menyebutkan tujuannya adalah Mal Blok M. Dia sangat puas, dan juga sadar bahwa di Jakarta sangat minim informasi petunjuk jalan yang sistematis. Rute Bandung - Blok M, harus melewati jalan Tanjung Priok, Ancol, Grogol, Slipi, Tanah Abang, Harmoni, Pasar Baru, Kemayoran, Cempaka Putih, Senen, Gambir, Thamrin, Sudirman dan Mal Blok M. Untungnya Gambir, Thamrin dan Sudirman adalah jalan poros yang tidak terputus. Kalau tidak, bisa-bisa lebih lama lagi. Karena, teman saya berprinsip baru akan berbelok arah kalau benar-benar sudah mentok. “Melelahkan, menantang, menjengkelkan, tapi menyenangkan!” ungkapnya.

Saya ingin dia mencoba rute Jogjakarta, karena kalau salah arah dan nunggu mentok baru berbelok, dia akan bertemu dengan kota Solo atau kota Semarang.

Tersesat dan salah jalan merupakan hal biasa di negara ini. Tidak heran kalau sopir taksi sering menyampaikan “kalau tidak tahu jalan, bisa mutar jauh atau malah ga sampai ke tujuan”. Jadi, syaratnya harus tahu jalan. Bagaimana mungkin mengetahui jalan, sementara ini kali pertama ke Jakarta. Celaka!

Keberadaan sebagian petunjuk jalan di Jakarta sangat memprihatinkan. Lantaran ada yang rubuh tertabrak bus, terhalang pepohonan, terhalang spanduk/baliho liar, atau warna dan tulisannya hilang karena tidak ada jadwal perawatan yang terskedul.

Gambar no 5 di atas cukup unik. Gambar petunjuk jalan di Indonesia. Uniknya lantaran diketahui bahwa tinggi petunjuk jalan, sudah disesuaikan dengan ukuran kendaraan yang ada. Tapi masih saja penyok akibat tertabrak atap kendaraan, jadi berapa tinggi kendaraan yang melintas? Apakah tidak akan membahayakan jembatan penyeberangan yang ada didepannya?

Di awal, saya memulai tulisan dengan perjalanan dinas keluar negeri. Saya jadi terkenang saat pertama kali berkunjung ke negeri jiran kita, Malaysia. Saya buka lagi arsip-arsip photo selama perjalanan. Empat photo (No 1-4) yang lain mungkin bisa memberikan inspirasi.

Apa yang berbeda dari lima gambar di atas?
Mereka memberikan petunjuk dengan sangat jelas pada hampir semua persimpangan, baik di persimpangan kecil maupun besar. Hampir disemua tempat. Bahkan hal-hal yang mungkin tidak kita anggap penting pun mereka informasikan. Seperti lokasi bank, hotel, tempat bermain, kantor pos, pom bensin dan kantor-kantor pelayanan publik lainnya.

Teman saya mungkin pernah ke Genting Highland Malaysia, sehingga dia sangat yakin dapat menemui Mal Blok M tanpa perlu bertanya. Seingat saya, selama dua hari di Genting Highland, saya tidak pernah bertanya dimana letak restaurant, toko buku, minimarket atau lainnya. Saya dapat berjalan kemana saja tanpa merasa khawatir kesasar. Saya hanya dengan mengandalkan petunjuk arah, dan bisa sampai ditujuan melalui jalan utama atau atau jalan pintas. Rasanya logika sopir taksi “kalau tidak tahu jalan, bisa mutar jauh atau malah ga sampai ke tujuan dan syaratnya harus tahu jalan” tidak berlaku di tempat ini.

Kapan ya kita bisa YAKIN bahwa 20KM di depan akan ada Minimarket, Pom bensin atau ATM, padahal kita tidak pernah melewati jalan tersebut sebelumnya ???

Saya memiliki keyakinan bahwa para Pengusaha Rastaurant, Perbankan, Pom Bensin, Hotel, Perumahan dan pemilik Mal, bersedia sharing biaya untuk memasang informasi tersebut disetiap persimpangan jalan. SEMOGA DAPAT TEREALISASI.

Salam
Sukardi Arifin

Read more...

Tuesday, September 8, 2009

Lagu Indonesia Raya

Heboh juga berita soal anggota DPR yang lupa menyanyikan lagu Indonesia Raya. Apalagi saat sidang paripurna dengan agenda pembukaan masa sidang terakhir DPR serta pidato kenegaraan Presiden dalam rangka HUT RI ke 64 tanggal 14 Agustus 2009 lalu. Hampir semua media nimbrung membahas KEALPAAN ini. “Tidak mungkin orang sebanyak itu, bisa lupa, apalagi mereka bukan orang biasa, mereka tidak nasionalis, mau jadi apa bangsa ini, ini merupakan PERTANDA…….”, begitu komentar para wartawan, para penulis, pengamat dan orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai pemerhati keutuhan bangsa. Mengharukan, jika rasa nasionalis seseorang diukur dengan menggunakan parameter asal teplok.

Lagu Indonesia Raya wajib dikumandangkan pada setiap mengawali dan mengakhiri kegiatan kenegaraan. Tanpa kecuali. Apalagi di gedung DPR. Tempat para dewan dan orang-orang terhormat bangsa ini berkumpul.

Permintaan maaf dari Agung Laksono selaku ketua DPR yang sedang menjabat, dianggap sebagai pembelaan diri. Lebih heboh lagi, ketua fraksi yang notabene juga menjadi bagian dari kealpaan itu, malah ikut protes. Walah….!!! Orang lupa koq di protes, bukannya diingetin. Aya-aya wae…..! Seingat saya, baru kali ini, orang “lupa” di obok-obok dan dipermasalahkan.

Saya jadi teringat dua kejadian berkaitan dengan hal ini.
Pertama, ketika saya melakukan sosialisasi mengenai program konversi minyak tanah ke LPG ukuran 3Kg di kabupaten Ogan Komiring Ilir (OKI) Sumatera Selatan, pertengahan 2008 lalu. Tidak seperti biasanya, acara ini dibuat menjadi sangat formal. Sangat protokoler. Padahal yang hadir, sebagian besar adalah masyarakat umum, dan pemkab diwakili oleh Asisten dua (Asda) bidang perekonomian. Ketika protokol meminta hadirin untuk berdiri dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, saya menangkap wajah yang terheran-heran. “Acara begini aja koq pake lagu Indonesia Raya segala sih..?”, mungkin begitu fikiran mereka. Seingat saya, selama tahun 2008, setidaknya saya memberikan pemaparan mengenai konversi tidak kurang dari lima puluh kali. Baik di Jawa tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Jawa Timur dan Sumatera Selatan. Dan, hanya kebupaten Ogan Komering Ilir itu tadi.

Kejadian kedua, saat Presiden Amerika yang ke 44, Barack Obama dilantik. Beliau salah mengucapkan sumpah jabatan. Bukankah tidak sepantasnya seorang presiden, apalagi presiden Amerika, melakukan kesalahan? Terutama dimuka umum dan diliput oleh media di seluruh dunia. Apa kata Obama saat itu? “Ini adalah hal biasa, mari kita ulangi….”!!

Apa yang bisa diambil dari kedua kejadian itu?
Pada kejadian pertama, sepertinya sudah menjadi kesepakatan tidak tertulis, bahwa lagu kebangsaan Indonesia Raya, tidak wajib dinyanyikan oleh masyarakat umum. Lagu kebangsaan itu hanya diwajibkan bagi anak-anak sekolah dan para pejabat pemerintah. Diluar dua kelompok itu, apakah karyawan swasta, sopir angkot, wartawan, atau apapun pekerjaannya, selama bukan anak sekolah dan pejabat pemerintah, tidak wajib menyanyikan Indonesia Raya. Walaupun hanya satu kali dalam setahun. Mungkin sudah saatnya bertanya kepada diri sendiri, kapankah terakhir kita menyanyikan lagu Indonesia Raya? Saya sempat berkali-kali menghadiri acara panjat pinang, lomba karnaval atau perlombaan lain yang dilakukan untuk menyambut hari Kemerdekaan RI. Tapi, saya tidak melihat ada pak RT, atau pak RW atau bahkan pak Lurah yang memulai perlombaan dengan mengajak anak-anak atau para peserta untuk mengumandangkan lagu Indonesia Raya.

Kedua, kita cenderung membesar-besarkan masalah yang tidak substantial. Presiden Amerika saja bisa melupakan hal seperti itu, soalnya dianggap tidak begitu penting, karena mereka memiliki urusan yang jauh lebih penting untuk diurusi. Mengapa kita membahas yang tidak penting sampai berhari-hari, semua media “turun gunung”. Mendatangkan para pengamat, untuk berdialog dan mengamati fenomena kelupaan tersebut. Apa yang diamati? Bukankah sudah menjadi rahasia umum bahwa para siswa yang mengumandangkan Indonesia Raya tanggal 17 setiap bulannya pun masih banyak yang tidak hafal teksnya. Atawa, jangan-jangan para pengamat yang menamakan dirinya sebagai pemerhati keutuhan bangsa pun tidak hafal lagu Indonesia Raya. “...Uedan tenan, rek..”, mungkin gitu ungkapan para bonek.

Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan ungkapan yang sudah sering disampaikan :
Mulailah dari diri sendiri, dari hal paling kecil dan dari SEKARANG.

Bagaimana kalau semua yang membaca tulisan ini, memulai untuk membiasakan pada acara HUT RI dilingkungan RT masing-masing agar memulai lomba dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya. At least, kita dapat turut menyanyikan lagu kebangsaan kita itu sekali dalam setahun. JANGAN KIRIM TULISAN INI KEPADA PEMERINTAH. Jangan meminta pemerintah untuk membuat peraturan tersebut. Jangan! Mulai saja dari diri Sendiri dan lingkungan sendiri. Jangan meminta RT lain di pulau lain untuk menyanyikan Indonesia Raya saat perayaan HUT RI, sementara di RT kita sendiri tidak dikumandangkan.

Berikut ini saya ikutkan Teks Lagu Indonesia Raya. Siapa tahu saking lamanya tidak menyanyikannya, kita pun sudah melupakan syairnya.

Indonesia Raya
Indonesia tanah airku
Tanah tumpah darahku
Disanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku
Indonesia kebangsaanku
Bangsa dan Tanah Airku
Marilah kita berseru
Indonesia bersatu

Hiduplah tanahku
Hiduplah negriku
Bangsaku Rakyatku semuanya
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya


Dalam teks lagu asli yang ditulis oleh Wage Rudolf Soepratman, pada tahun 1924 ada tambahan teks berikut ini :

Indonesia Tanah yang mulia
Tanah kita yang kaya
Di sanalah aku berada Untuk slama-lamanya

Indonesia Tanah pusaka Pusaka Kita semuanya
Marilah kita mendoa Indonesia bahagia

Suburlah Tanahnya Suburlah jiwanya
Bangsanya Rakyatnya semuanya

Sadarlah hatinya Sadarlah budinya
Untuk Indonesia Raya

Indonesia Tanah yang suci Tanah kita yang sakti
Disanalah aku berdiri ‘njaga ibu sejati

Indonesia! Tanah berseri Tanah yang aku sayangi
Marilah kita berjanji Indonesia abadi

Slamatlah Rakyatnya Slamatlah putranya
Pulaunya lautnya semuanya
Majulah Negrinya Majulah Pandunya
Untuk Indonesia Raya


Salam
Sukardi Arifin

Read more...

Monday, September 7, 2009

MAGNET BISNIS SELULAR

Pertumbuhan dunia selular yang spektakuler juga dipicu oleh kepemilikan multi ponsel oleh konsumen. Termasuk pula dalam ragam penggunaannya. Hal ini ke depan akan turut mendorong bidang bisnis lain untuk ikut menceburkan bisnisnya dalam dunia selular. Bagaimana Prediksinya

Saat ini, kebutuhan akan komunikasi semakin tidak dapat dihindarkan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh SurveyOne baru-baru ini, lebih dari 50% pengguna ponsel, menelpon (call out) antara 9-15 kali dalam sehari. Bahkan, 7.4% diantaranya mengaku menelpon lebih dari 20 kali dalam sehari. Disisi lain, pengunaan ponsel untuk mengirim pesan singkat (SMS), rata-rata 53 kali dalam sehari. Frekuensi mengirim SMS bagi kelompok remaja, jauh lebih tinggi. Dalam sehari, rata-rata 78 pesan singkat yang dikirim oleh kelompok ini.

Dengan kenyataan ini, rasanya kebutuhan akan komunikasi dapat digolongkan menjadi salah satu dari 10 kebutuhan pokok, melengkapi sembilan kebutuhan pokok yang sudah dikenal lebih dulu.

Menurut Asosiasi Telepon Selular Indonesia (ATSI), pertumbuhan jumlah handset rata-rata 20% per tahun. Pada bulan November 2007, jumlahnya telah mencapai 80 juta handset. Diperkirakan pada medio 2009 ini, jumlah yang beredar di seluruh Indonesia sekitar 115 juta. Angka ini masih lebih kecil bila dibandingkan dengan data yang di release oleh Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), yang mencapai angka 160 juta handset. Tidak mengherankan jika benda yang satu ini bisa ditemukan dimana saja. Di sawah, gunung, pulau kecil apalagi di perkotaan.

Pertumbuhan ini juga didorong oleh kebiasaan masyarakat perkotaan untuk memiliki lebih dari satu handset. Dengan alasan memisahkan urusan pribadi dan bisnis, sebanyak 45.2% mengklaim harus memiliki dua handset. Tidak hanya dua, 7.2% terpaksa harus memisahkan urusan keluarga, bisnis dan sangat pribadi, sehingga harus memiliki tiga sampai empat buah handset.

PASAR LOW dan HIGH END
Seperti produk-produk lainnya, karakter pasar Handphone pun berbentuk seperti piramida. Dimana pasar dibagi dalam tiga segmen, pertama adalah segmen Low-End. Pasar Low-End adalah kelompok masyarakat yang menggunakan ponsel dengan harga maksimal Rp 1,5 juta. Segmen ini sangat besar, dengan persentase mencapai 65.2%, hampir semua produsen ponsel nyemplung di segmen ini. Segmen berikutnya yang juga cukup besar adalah segmen dengan range harga ponsel antara Rp 1,5 juta hingga Rp 4 juta sebesar 29.2%. Sementara pangsa pasar High-End hanya sebesar 5.6%.

Pilihan merek dan jenis handphone pun semakin beragam. Berbagai Fitur terus dikembangkan dan ditawarkan oleh para produsen. Research in Motion (RIM) selaku produsen Blackberry, cukup mengejutkan pasar handphone pada awal tahun ini. Dengan keunggulan push email dan selalu terhubung pada global news and network, BB (demikian biasa merek ini disebut), mulai mengenggam 0.4% pangsa pasar.

Nokia, sebagai merek yang cukup lama bermain di pasar Indonesia, tidak melepaskan ketiga segmen pasar yang ada. Secara keseluruhan, Nokia merupakan merek yang paling banyak digunakan. Lima besar merek-merek ponsel yang digunakan adalah Nokia (72.2%), Sony Ericsson (22.6%), Esia/Huawei (9.6%), Samsung (5.4%), dan Motorola (3.8%).

ALASAN dan PERILAKU
Strategi tepat sasaran mesti terus dikembangkan oleh para produsen ponsel untuk dapat meraih pasar Indonesia yang semakin competitif. Konsumen Indonesia memiliki perilaku yang berbeda saat membeli ponsel yang pertama (ponsel utama) dengan ponsel yang kedua (ponsel pelengkap). Pemahaman terhadap perbedaan ini akan membantu dalam menajamkan strategi.

Ponsel dengan kualitas bagus, easy to use dan modelnya menarik menjadi pertimbangan utama dalam memilih ponsel pertama kali atau untuk mengganti ponsel utama. Sementara untuk ponsel kedua, harga murah, pilihan modelnya banyak, dan teknologinya CDMA/ DUAL yang dijadikan sebagai syarat utama.

Tidak cukup hanya sekedar mengetahui hal-hal yang dijadikan pertimbangan dalam memilih sebuah ponsel, untuk mengembangkan marketing strategy. Lebih jauh lagi, mengetahui kebiasaan konsumen saat akan membeli ponsel, akan memberikan masukan yang sangat berharga dalam menentukan pilihan terhadap bentuk komunikasi yang akan digunakan. Peluang untuk dijadikan sebagai pilihan, bagi merek ponsel yang tidak melakukan komunikasi Above the Line, hanya 20.2%. Karena, 79.8% konsumen yang akan membeli ponsel, telah menentukan merek yang akan dibeli. Walaupun 14.6% diantaranya akan berdiskusi dengan penjual terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk membeli sebuah merek ponsel. Artinya, peran penjaga toko dalam mempengaruhi konsumen yang akan membeli ponsel adalah 34.8%.

Berapa kali anda melakukan penggantian ponsel dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini? Jika anda belum mengganti ponsel dalam kurun waktu tersebut, anda termasuk 30% konsumen ponsel di Indonesia. Sisanya, 70% konsumen menyatakan bahwa mereka melakukan penggantian ponsel dalam rentang waktu dua tahun. Selanjutnya, konsumen yang melakukan pengantian sedikitnya sekali dalam dua tahun sebanyak 18.8%, dua kali (27.2%), tiga kali (15.0%), empat kali (5.4%) dan mengganti ponsel lebih dari empat kali adalah 3.6%.

Alasan melakukan penggantian ponsel pun cukup beragam. Mulai dari mengganti dengan model yang lebih baru (57.1%), hilang (15.2%), rusak (14.0%) hingga karena fiturnya dirasakan sudah tidak memadai lagi (10.0%).

ASURANSI HANDPHONE
Pasar ponsel sangat besar dan pertumbuhannya relatif konsisten. Pasar ini masih cenderung akan meningkat dalam dua sampai tiga tahun ke depan. Pertumbuhan ini, memiliki daya tarik yang kuat. Sehingga tidak hanya produsen ponsel saja yang terus bertambah. Produsen asesoris pun ikut mengail rejeki. Sebut saja, bisnis chasing, cover, dan memory card. Terakhir, bisnis asuransi ponsel pun tidak mau ketinggalan.

Tingkat kerusakan ponsel relatif tinggi, mencapai 73.2%. Penyebabnya bermacam-macam. Bisa saja dari cara penggunaan yang tidak tepat, maupun akibat cacat produksi. Jenis kerusakan pun bermacam-macam, hang, baterai drop, mati total, keypad yang kurang berfungsi, terjatuh hingga terendam air.

Memahami keadaan ini, para pemain di bisnis asuransi, menangkap peluang pasar. Premi berdasarkan harga ponsel dengan kisaran antara Rp 50 ribu hingga Rp 250 ribu yang berlaku selama satu tahun untuk ponsel baru, mereka akan memberikan fasilitas perbaikan untuk semua jenis kerusakan. Baik untuk kerusakan akibat cacat produksi maupun akibat kelalaian penggunaan, seperti terjatuh dan terendam air. Premi ini belum men-cover kehilangan.

Tingkat ketertarikan masyarakat pengguna ponsel pun cukup tinggi, mencapai 61,8%. Artinya, masih terdapat gap kepuasan masyarakat terhadap pelayanan perbaikan ponsel selama ini. Selanjutnya, kita tunggu bisnis apa lagi yang akan tersedot oleh pasar ponsel di Indonesia.

Sukardi Arifin

Read more...

FUTSAL: Mau Prestasi atau Bisnis?

Lapangan futsal mulai menjamur di kota-kota besar Indonesia. Selain berpotensi menjaring bakat baru, juga menjadi lahan bisnis yang cukup menjanjikan.

“Jay… kamu harus berani penetrasi. Andrian… lawan kamu mana? Ayo, masing-masing konsentrasi, perhatikan gerak lawan dan gerak kawan,” teriak Justinus Lhaksana, ketua pelatih tim futsal nasional dari luar lapangan.

Justin, demikian sang pelatih biasa dipanggil, berwajah cukup tampan untuk ukuran pelatih futsal. Tapi pria ini sarat pengalaman. Tiga putaran berturut-turut ia membawa Cosmo FC Jakarta memimpin klasemen liga futsal nasional. Makanya, target masuk final di Sea Games Thailand 2007 yang dibebankan di pundaknya, rasanya cukup realistis.

Sejumlah pemain terbaik dari berbagai klub pun sudah dipilih untuk masuk pelatnas. Sebut saja Vernard Hutabarat, Andrian Asuri, Sayan Karmadi, dan Jaelani Ladjanidi. “Selama bulan Mei-Juli saya menggenjot latihan fisik. Dua kali sehari, pagi-sore. Nah, baru pada Agustus saya akan konsentrasikan pada taktik dan strategi, sementara porsi fisiknya mulai dikurangi,” ungkap Justin bersemangat. Peningkatan prestasi yang dicapai
timnya dalam dua bulan terakhir, membuat Justin optimis timnas futsal ini mampu memenuhi harapan bangsa Indonesia.

Dianggap Sama
Istilah Futsal diambil dari bahasa Spanyol dan Portugis, kata “FUTbol atau FUTebol” yang berarti “sepak bola”; dan dari bahasa Perancis atau Spanyol, kata “SALon atau SALa” yang artinya “dalam ruangan”. Jadi futsal sama dengan sepak bola dalam ruangan.

Permainan ini berasal dari Montevideo, Uruguay. Waktu itu, sekitar tahun 1930, Juan Carlos Ceriani menyelenggarakan kompetisi sepak bola untuk kalangan remaja. Hanya saja jumlahnya terbatas, masing-masing tim terdiri dari 5 pemain (termasuk penjaga gawang). Tempatnya pun di lapangan basket yang beralaskan partikel kayu, bukan rumput seperti sepak bola pada umumnya. Dari sinilah, futsal terus menggelinding dengan cepat ke berbagai negara.

Brasil merupakan satu-satunya negara yang paling banyak memenangkan kejuaraan futsal. Sepanjang 1965-1979, dari tujuh kali kejuaraan, Brasil enam kali menyabet South American Cup. Tidak hanya itu, tahun 1980 dan 1984 mereka juga menggondol Pan American Cup. Masih belum puas juga, Brasil menjuarai Futsal World Champion (FWC) tahun 1982, 1985, 1989 dan 1992. Tapi baru pada 1989, futsal menjadi agenda FIFA dan rutin dilaksanakan tiap 4 tahun sekali. Terakhir, FWC diadakan di Taipei tahun 2004. Saat itu, Brasil harus merelakan piala direnggut oleh Spanyol.

“Futsal sendiri masuk ke Indonesia sejak 2002. Kala itu, menggandeng McDonald’s sebagai sponsor. Hanya dalam hitungan bulan, tepatnya Oktober 2002, Indonesia dipilih menjadi tuan rumah kejuaran futsal tingkat ASEAN,” jelas Patilatu, Direktur Umum Badan Futsal Nasional (BFN). BFN adalah salah satu badan PSSI yang dibentuk untuk mengurusi futsal—mulai dari event, liga hingga pengembangan prestasi. Sementara PSSI mengurusi tingkat internasional.

Di tingkat internasional, timnas futsal Indonesia mulai ikut kejuaraan Asia di Makau dan babak pra-kualifikasi FWC 2004 di Taipei. Sedang di Olimpiade di Athena lalu, futsal masih menjadi pertandingan exhibition. Dengan wajah berseri, pria yang biasa disapa Are ini menambahkan, di Sea Games Thailand bulan Desember nanti, futsal sudah menjadi cabang olahraga yang memperebutkan medali.

Di beberapa negara Asia, termasuk Indonesia, mini soccer atau sepak bola di lapangan berukuran kecil pun sering disebut futsal. Sebagian besar lapangan futsal di negeri kita pun menggunakan rumput sintetis (artificial grass). Padahal, menurut aturan FIFA, lapangan futsal seharusnya beralaskan karpet, karet atau partikel kayu. Itu sebabnya, BFN memakai karpet untuk penyelenggaraan liga. “Di Jakarta sendiri,” kata Are, “hanya ada dua lapangan yang sesuai standar FIFA, yaitu di Planet Futsal Kelapa Gading dan di Senayan Trade Center.”

Perbedaan lainnya terletak pada ukuran lapangan. Panjang lapangan futsal nasional berkisar antara 25m-42m dan lebarnya 15m-25m; sementara untuk pertandingan internasional panjangnya 38m-42m dengan lebar 18m-22m. Di beberapa futsal center, ukuran lapangannya cuma disesuaikan dengan luas lahan yang ada.

Futsal pun menggunakan bola, sepatu dan peraturan yang berbeda dengan sepak bola. Tapi gaya bermain futsal sering masih mengikuti gaya sepak bola pada umumnya. Akibatnya, pelanggaran seperti tackle atau body charge acap ditemukan. Mungkin, penggunaan rumput sintetis ini ditujukan untuk mengakomodasi gaya sepak bola konvensional yang dianut para pemain futsal kita. Asal tahu saja, Ronaldinho, pemain asal Brasil yang saat ini memperkuat klub Barcelona, tadinya juga pemain futsal sebelum dia terjun ke sepak bola profesional. Futsal memang sangat cocok untuk belajar skill mengolah bola dan rotasi posisi dengan cepat di area yang sempit.

Menurut Are, menjamurnya lapangan futsal belum berpengaruh secara langsung terhadap prestasi tim futsal nasional. Saat ini, timnas berada pada peringkat ke-11 di Asia. Posisi papan atas masih dikuasai Jepang, Iran, China, dan Korsel. Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia berada di posisi kedua setelah Thailand. “Secara prestasi, ini belum menggembirakan. Tapi seluruh jajaran terkait sedang berupaya keras mencapai prestasi tertinggi,” paparnya.

Futsal memang masih tergolong baru di negeri kita. Di samping itu, minimnya tempat latihan dan banyaknya lahan futsal yang menggunakan sarana yang salah, menjadi penyebab sulitnya mencari bakat-bakat baru pemain futsal.

Di Eropa dan Amerika, terutama di Amerika Selatan, futsal dan soccer adalah dua cabang olahraga dan bisnis yang berbeda. Pemain mini soccer lebih diarahkan untuk berprestasi sebagai pemain sepakbola, bukan sebagai pemain futsal. Tapi karena kadung dikenal sebagai futsal, ya... kita sebut saja semuanya sebagai futsal. Kali ini ungkapan Shakespeare tentang “apalah arti sebuah nama” terasa pas.

Minimal Tiga Lapangan
Pertumbuhan bisnis futsal di Indonesia sangat signifikan, kalau boleh dibilang ruarr biasa. Bukan cuma di Jakarta. Di Surabaya, Bandung, Medan, Palembang, Makassar, dan kota-kota besar lain, lapangan futsal bermekaran laksana puspa di musim semi. Futsal menjadi jawaban atas sempitnya lahan bermain di daerah perkotaan. Saat ini, banyak lahan kosong dan lapangan olahraga lain yang berubah wajah menjadi lapangan futsal. Lapangan itu tidak hanya dimiliki oleh Pemda melalui gedung-gedung olahraga (GOR), tapi makin hari makin banyak pula pengusaha yang mencoba terjun ke bisnis ini.

Di Kelapa Gading, Jakarta, sedikitnya sudah berdiri tiga futsal center: Planet Futsal, Cosmo Futsal, dan Gading Futsal. Ketiganya berada di kawasan yang dekat dengan lokasi perkantoran. Gading Futsal, misalnya, diapit oleh empat kompleks perkantoran. Penentuan lokasi adalah hal utama bagi pebisnis futsal. “Lokasi ini sesuai dengan target market kami, yaitu para pebisnis, karyawan, dan masyarakat sekitar,” ungkap Ardy Ang, Presdir Gading Futsal. Karenanya, untuk harga sewa pada hari Sabtu/Minggu (pukul 17.01-23.00) dipatok lebih murah ketimbang pada hari kerja (lihat tabel).

Tiga bulan sejak diresmikan, Gading Futsal kebanjiran pelanggan. Rata-rata member sudah kontrak untuk 3-6 bulan ke depan. Sehingga, untuk mengganti jadwal pun butuh waktu sedikitnya tiga bulan. Sirkulasi udara yang sangat baik, kualitas lapangan, warna-warni rumput sintetik yang dipilih, serta pelayanan merupakan keunggulan yang ditawarkan. “Kami sudah merancang dari awal untuk membangun futsal center yang berkualitas dan sehat,” tambah Ardy berpromosi.

Gurihnya bisnis futsal juga dirasakan oleh PT Premium Interindo (PI), penyedia perlengkapan futsal. Ordernya datang dari Jakarta, Palembang dan juga Makassar. Menurut Tony S. Tanuwidjojo, Business Unit Manager PI, investasi untuk satu lapangan futsal dengan kualitas material dari Eropa sekitar Rp 250 juta. Angka ini belum termasuk biaya untuk konstruksi dan fasilitas pendukung seperti kafe, shower, toilet dan locker.

Kualitas lapangan sangat ditentukan oleh jenis rumput sintetisnya. Rumput sintetis menyedot biaya sebesar 70%, kemudian 20% untuk tali dan gawang serta 10% untuk biaya pemasangan dan lainnya. Merek rumput sintetis seperti Domo dari Belgia dan Fieldturf dari Perancis bisa awet hingga 5 tahun lebih untuk penggunaan lapangan yang rutin.

Rupanya bukan cuma produk elektronik dan motor yang diserbu oleh produk China. Rumput sintetis pun ikut diinvasi. Parksform adalah salah satu merek asal China yang cukup banyak digunakan. Perbedaan produk Eropa dengan China terletak pada kualitas yarn (benang) dan UV Stabilizer-nya. Tony berpendapat, produk China hanya mampu bertahan sekitar 2-3 tahun.

Menyadari persaingan bisnis sangat ketat, selain menjadi showroom perlengkapan futsal, PI juga menawarkan servis tambahan berupa pemasangan dan konsultasi sebagai added value. Klien yang ingin berinvestasi di bisnis indoor soccer akan diberikan konsultasi. Mulai dari persiapan konstruksi, pemasangan jaring, rumput sintetis, pemeliharaaan sampai memperkenalkan mereka ke Coaching Clinic untuk pembukaan kelas pelatihan. “Dasar-dasar manajemen untuk bisnis ini juga kami konsultasikan, sehingga klien yang mulanya belum ada gambaran, akan mendapatkan proyeksi income dan ROI (return on investment) yang lebih jelas. Semuanya kami buat dalam simulasi komputer,“ papar Tony bersemangat.

Biaya lain seperti jaring lapangan (netting) berkisar Rp 20-25 juta, sedang sepasang gawang harganya Rp 3 juta. Jadi total investasi untuk sebuah lapangan diperkirakan sekitar Rp 500 juta. Beberapa pengusaha di bisnis ini tidak bersedia menyebutkan total nilai investasinya. Tapi mereka tidak menolak ketika disodorkan angka 1,5-2 miliar untuk membangun sebuah futsal center dengan kapasitas tiga lapangan. Menurut Ardy, setiap futsal center sebaiknya memiliki minimal tiga lapangan agar lebih optimal. “Untuk tiga lapangan saja, baru bisa break even point setelah dua tahun lebih,” prediksi Ardy.

Lantaran investasinya lebih dari 1 miliar, wajarlah jika harga sewanya pun terbilang tinggi. Harga sewa lapangan per jam terbagi menjadi dua kelompok weekday dan weekend, serta pagi-sore dan sore/malam. Penentuan pricing sangat ditentukan oleh “peak time”. Beberapa fasilitas tambahan seperti shower panas/dingin, kafe, rompi, wasit, locker, dan lainnya menjadi nilai tambah yang sering digembar-gemborkan.

Di sejumlah tempat, lapangan futsal dipenuhi oleh para profesional muda. Ervin, manajer keuangan sebuah perusahaan konsultan rutin ber-futsal-ria usai jam kerja. Dia bahkan sudah mengontrak lapangan setiap Rabu untuk 6 bulan di Gading Futsal. “Mainnya dengan teman dari perusahaan lain dalam satu grup. Biarpun enggak ada yang jago futsal, tapi lumayanlah buat ngilangin stres dan bikin badan tetap bugar,” kata Ervin sambil menyeka keringat.

Para penggila futsal ini memang tidak bermaksud menjadi pemain profesional. Mereka pun cenderung tidak terlalu peduli dengan perbedaan futsal dengan mini soccer. Yang jelas, permainan futsal tidak keras, tidak ada body touch dan bisa dimainkan sambil ledek-ledekan, “Just for fun,” cetus Bobby Satya, Marketing Manager dari HRC. Ya, for fun bagi pemain, tapi make fun bagi pebisnis.

Sukardi Arifin
Hape : 081810306383

Read more...

Bacaan Penting bagi Orang Penting

About This Blog

  © Blogger template The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP