Wednesday, May 13, 2009

Perjalanan Semarang-Blora

Perjalanan dari Kodya Semarang ke Kabupaten Blora kali ini seharusnya merupakan perjalanan biasa. Sama seperti perjalanan dari Madiun-Magetan-Ngawi-Sragen-Solo, atau perjalanan dari Balikpapan ke Samarinda yang saya lakukan minggu lalu. Namun, ada hal yang membuat tangan ini “gatal” untuk mengisahkan perjalanan tersebut dan membagikan kepada orang lain.

Mengapa perjalanan dari Semarang ke Blora ini menjadi berbeda dibandingkan dengan perjalanan lainnya? Ceritanya begini ……: Setelah melewati Kabupaten Demak, perjalanan selanjutnya melintasi Kabupaten Grobogan (nama ibukotanya Purwodadi). Saya bersama rekan melintasi jalan tersebut sekitar pukul 23.30 malam hari. Jalanan lumayan sepi, hanya ada satu dua kendaraan yang melintas. Bisa jadi, kurangnya kendaraan yang melintasi jalan ini karena memang sudah larut, atau mungkin karena jalan di kota ini “luar biasa” berlubang, bergelombang dan tidak terurus. Dalam hati saya berkata “kalau jalan di Demak bisa baik, kenapa di Purwodadi tidak bisa yaaa..?”

Rasanya “mangkel” luar biasa jika harus melewati jalan yang rusak. Bergelombang, berlubang, tak henti-hentinya. Saya bukannya orang yang tidak pernah melewati jalan rusak selama di Jakarta atau di kota lainnya. Tapi jalanan di Grobogan ini benar-benar luar biasa. Mungkin bisa diberikan piagam dari MURI atau Guinness Record, karena memecahkan jalan rusak terpanjang sekaligus jalan rusak terlama yang dibiarkan begitu saja, tanpa ada tanda-tanda perbaikan.

Parahnya, rasa mangkel yang memuncak tadi, makin disempurnakan oleh banyaknya remaja dari wilayah tersebut yang memanfaatkan keadaan jalan yang rusak tadi. Sedikitnya kami dihentikan sebanyak 12 kali oleh para remaja tadi untuk mengisi kaleng “sumbangan” dengan alasan biaya perbaikan jalan. “wah… baru tahu kalau biaya perbaikan jalan tidak diambil dari APBD tapi dari sumbangan para pengguna jalan, disamping itu pemungutnya pun bisa dilakukan oleh siapa saja….” ucapku pada rekan yang masih ngedumel sambil menyetir.

Awalnya saya fikir hal ini hanya terjadi di Grobogan. Tapi ternyata di Blora pun tidak jauh berbeda, hanya saja jumlah titik dimana kami harus berhenti mengisi kaleng “sumbangan” hanya sebanyak 4 kali.

Celakanya, ketika saya harus meninggalkan Blora menuju Purbalingga, kejadian yang sama pun terjadi di kota ini.

Saya melihat kegiatan ini menjadi tren. Kemana para petugas yang seharusnya bertugas ? Membiarkan preman ataupun karang taruna ataupun organisasi remaja lainnya melakukan tugas ini tentu saja dapat merusak citra sebuah daerah. Apalagi jika mereka memasang muka marah jika anda tidak membuka kaca. Bahkan pada beberapa titik, mereka tidak akan memberi jalan jika anda tidak mengisi kaleng.

Rasanya….perlahan tapi pasti. Para pemimpin di daerah membiarkan bibit-bibit premanisme bertumbuh. Dan yang pasti para sopir truk/bus harus merogoh kocek lebih dalam untuk dapat melintasi setiap daerah.

Mungkinkah hal ini bisa di berantas atau malah semakin menyebar di setiap kota…??

Salam
Sukardi Arifin

1 comments:

Iwan Setiawan May 15, 2009 at 11:09 PM  

Wah..jangan-jangan aparat kepolisian juga dapat jatah preman nih Pak. Jadi premanya juga dipremani, makanya aman-aman saja.

Sebenarnya secara mental saya setuju dengan mereka yang berusaha memperbaiki jalan rusak itu (tapi bagi yang bener-bener memperbaiki), karena pemerintah sudah tidak punya inisiatif memperbaikinya.

Kayaknya pemerintah daerah sudah tidak punya sense terhadap pengguna jalan. Mungkin mereka tidak pernah melalui jalan itu. Atau melalui jalan itu menggunakan mobil mewah, jadi gak kerasa berlubang, saking halusnya shock mobil.

Bacaan Penting bagi Orang Penting

About This Blog

  © Blogger template The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP