Monday, September 28, 2009

Astana Giribangun, Makam pak Harto...!











Sudah belasan kali saya mengunjungi kota Solo – Jawa Tengah. Baik itu dalam rangka tugas, liburan, maupun saat menghadiri pernikahan seorang kawan. Tapi, selalu saja saya tidak sempat berkunjung ke Astana Giribangun, tempat mantan Presiden RI kedua, Bapak Soeharto dimakamkan. Padahal, sejak wafatnya pada tanggal 27 Januari 2008 lalu, saya berjanji akan berziarah ke makam beliau. Setiap akan berangkat ke Solo, saya memasukkan nama Astana Giribangun ke dalam list, sebagai salah satu tempat yang akan saya kunjungi. Karena alasan tidak cukup waktu, atau alasan mengejar flight, rencana itu gagal dan gagal lagi.

Sebagai orang Indonesia, saya sangat menghargai Pak Harto. Sama seperti penghargaan saya kepada Bapak Soekarno, Bapak SBY, Prof Habibie, Gus Dur, JK, Wiranto, Ibu Mega, Pak Prabowo dan para putra-putri terbaik bangsa lainnya. Semua memiliki kekurangan, tapi rasanya tidak pantas menghitung-hitung kekurangan mereka jika dibandingkan dengan cucuran keringat dan perasan fikiran yang telah disumbangkan kepada bangsa ini. Saya pernah ingin mencatat apa saja yang telah saya perbuat untuk kepentingan bangsa. Kertas catatan yang saya sediakan, sampai hari ini belum terisi satu kata pun. Payah, memang. Tapi lumayanlah, karena saya tidak termasuk kelompok orang yang TIDAK MENGHARGAI apa yang telah dilakukan oleh orang lain.

Minggu, 27 September 2009, saya menghadiri pernikahan seorang sahabat di Weru, Sukoharjo-Solo. Seperti biasa, rencana berkunjung ke Astana Giribangun mulai mengalami kendala. Mendarat di Solo dengan Extra Flight (khusus untuk libur lebaran) Garuda Indonesia jam 9. Perjalanan dari Bandara ke lokasi pernikahan ternyata cukup jauh. Tiba jam 12 lewat 10 menit. Acara resmi sudah selesai. Ngumpul dengan teman-teman, ngobrol sana-sini sekitar 3 jam. Jam 15.20 meninggalkan lokasi pesta, menuju ke Makam pria yang siang malam memikirkan bangsa selama 32 tahun. Perjalanan dari Sukoharjo ke Astana Giribangun yang terletak di kecamatan Matesih-Karanganyar, ternyata memakan waktu yang cukup panjang. Sepanjang jalan berkelok dan banyaknya tanjakan yang harus dilalui. Melewati lokasi persawahan. Catatan pertama yang ingin saya abadikan, sawah di Sukoharjo kering kerontang (gambar 1), sementara sawah di Karanganyar hijau berseri (Gambar 2). Apakah ini kutukan bagi Sukoharjo atau ujian bagi Karanganyar. Dua kota bersebelahan, tapi beda nasib.

Tiba dilokasi makam, pukul 17 lewat 25 menit. Beberapa kali salah arah. Kesasar. Maklum, kurangnya petunjuk arah yang jelas dan memadai. Kalau untuk hal yang satu ini, kita kompak secara nasional. Posisi makam, berada di puncak bukit. Sejuk. Hijau dan asri. Pemandangan sudah mulai gelap sebahagian (gambar 3 dan 4). Saya tidak men-jepret sunset, padahal melihat sunset dari lokasi ini sangat indah. Saya tidak rela, membagi keindahan itu dengan Anda (pembaca). Anda harus datang dan menyaksikannya sendiri. Sumpah, sunsetnya indah sekali. Sama seperti di Kute Bali, atau di Pantai Losari Makassar. Tapi ini dari atas bukit, bukan dari tepi pantai.

Tiba di lokasi makam sedikit terlambat, karena jadwal kunjungan ke makam dibuka dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore (gambar 5). Namun, kami mendapat dispensasi. Sahabat saya menjelaskan, kalau kami dari Jakarta dan sudah harus pulang esok hari, tidak pasti kapan bisa datang lagi. Tidak ada debat, tidak ada niat mempersulit, petugas makam memberi kami selembar pas masuk. Fleksibel. Mudah. Tidak kaku. Tidak seperti pelayanan yang biasa saya temukan di instansi atau tempat-tempat lain.
Masuk ke makam, sudah mulai gelap. Lampu-lampu sudah dinyalakan (gambar 6). Mengambil gambar bersama teman-teman. Mengambil gambar makam bapak pembangunan. Kalau tidak salah kutip, ada 5 batu nisan di dalam makam. Nisan ayah dan ibu beliau, nisan ibu Tien sang istri tercinta, satu lagi saya lupa nanya punya siapa.

Suara adzan maghrib sudah berkumandang. Kami harus menyudahi peziarahan. Waktu dispensasi sudah cukup. Kamipun meninggalkan makam menuju tempat parkir.

“Makam Astana Giribangun ini ramai dikunjungi orang, tapi koq tidak ada pengemis, atau orang yang meminta-minta yaa?” celoteh teman saya yang kelihatannya bingung. Bingung karena hal ini tidak biasanya. “Jangankan pengemis, semua pegawai disini sangat membantu. Ramah. Ringan tangan. Dan yang paling utama, mereka tidak memperlihatkan wajah atau sikap agar diberikan tip atau uang terima kasih”, tambah teman saya yang lainnya. Mereka sepertinya sudah cukup dengan gaji yang diberikan oleh pengelola, dan tidak berharap mendapatkan tambahan penghasilan dari cara meminta-minta secara terselubung.

“Ibu Tutut, mas Bambang dan mas Tommy khan cukup kaya. Tidak pantas jika ada peminta-minta atau pengemis di makam ayah dan ibu beliau” komentar teman saya yang lainnya lagi.

“Pak Harto dan Ibu Tien itu khan figur penting bangsa Indonesia, sama seperti tokoh bangsa yang lain, jadi tidak pantas kalau dilecehkan dengan membiarkan para pengemis berkeliaran disekitar makamnya. Dan sangat tidak bertanggung jawab, jika beban itu hanya kita bebankan kepada mbak Tutut, mas Tommy, Mas Bambang atau anak-anak para tokoh tersebut. Mereka itu bukan hanya milik anak-anaknya atau keluarganya. Tapi milik Bangsa. Memangnya kita tidak malu, dan tidak merasa memiliki bangsa ini…???” Ungkapku sambil menutup pintu Xenia putih yang mengantar kami.

Semoga Allah mengampuni dosa-dosa para pahlawan bangsa, dan menerima tetesan keringat serta perasan fikiran mereka…... AMIN

Salam,
Sukardi Arifin

Note :
Teman-teman dalam photo : Fory, Dewi, Siti, Amirul, Abidin, Ulin dan Pak Tukil.

0 comments:

Bacaan Penting bagi Orang Penting

About This Blog

  © Blogger template The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP